Tempora Mutantur Etnos Mutamur in Illis
Oleh : Nurohmat
Sengaja saya mengambil judul artikel ini dengan menggunakan bahasa Latin, selain mengingatkan saya bahwa bahasa Latin adalah bahasa akademik/ilmu pengetahuan peradaban dunia pada zamannya. Sejatinya, saya mencoba mengambil hikmah dari pepatah Latin tersebut untuk kemudian saya renungkan dan diselaraskan dengan kearifan lokal daerah tempat saya tinggal.
Dalam budaya masyarakat Jawa Barat, ada pepatah yang mengatakan bahwa kudu bisa kabula kabale, yang dapat diartikan bahwa kita sebagai pribadi harus bisa adaptif terhadap kondisi alam dan zaman. Dalam tafsiran yang lebih melebar, sedapat mungkin kita harus pandai bersosialisasi dan bertransformasi menjadi pribadi atau komunitas yang mampu membawa lingkungan ke arah kemajuan kebudayaan tanpa memberangus nilai-nilai luhur budaya kita sendiri.
Dalam tradisi Pesantren, dikenal kata-kata hikmah yang mengatakan Al mukhofadatu 'alal qodiimi shalih wal Akhdzu bil jadiidil ashlah, kurang lebih diartikan merawat dan mempertahankan tradisi masa lalu yang baik serta mengadopsi dan menyelaraskan hal-hal baru yang lebih baik.
Proverbia Latin yang menjadi judul artikel ini juga tidak jauh dari makna perubahan dan transformasi. Tempora Mutantur Etnos Mutamur in Illis yang dapat diartikan bahwa kodrat zaman itu berubah, demikian pula kita, bertransformasi adalah sebuah keniscayaan.
Bicara tentang transformasi dan perkembangan kebudayaan, gagasan tri-kon (kontinyu, konvergensi, konsentris) yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara hampir seabad yang lalu senantiasa relevan dengan kata-kata hikmah di atas yang merupakan warisan hikmah dari beberapa alam kebudayaan, baik alam tradisi Latin, Sunda, maupun pesantren.
Ki Hajar Dewantara menunjukkan jalan bahwa perkembangan kebudayaan seharusnya melalui alur tri-kon, kontinyu dengan tradisi masa silam, konvergen bergerak bersama-sama dengan kebudayaan lain dan konsentris dalam persatuan budaya namun tetap memiliki karakter keunikan tersendiri.
Dalam pemahaman Ki Hajar Dewantara, kebudayaan Itu timbul dari segenap hasrat manusia untuk hidup bahagia serta selamat lahir batin sehingga hampir semua kebudayaan memiliki karakter mempermudah hidup manusia serta bersifat indah. Mempermudah hidup dapat mengacu ke arah kehidupan lahir, seperti teknologi, barang-barang atau alat-alat yang memudahkan kehidupan lahir manusia. Bisa juga mengarah ke arah kehidupan batin seperti ilmu pengetahuan, ritual keagamaan, hukum, adat istiadat, kesenian dan sebagainya.
Hal-hal yang mempermudah aktivitas manusia di masa lampau, belum tentu memiliki daya yang sama pada saat ini. Contoh: Dahulu, kentongan dan bedug merupakan salah satu alat yang memudahkan manusia dalam berkomunikasi. Saat ini, bisa jadi hal tersebut tidak relevan lagi. Tidak heran, jika di era kekinian penggunaan kentongan dan bedug sebagai alat komunikasi relatif sudah ditinggalkan.
Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan itu tidak memiliki bentuk yang abadi, demikian menurut Ki Hajar Dewantara. Wujudnya senantiasa berubah seiring dengan perubahan alam dan perkembangan zaman. Untuk itu, kemampuan mentransformasikan kebudayaan kita terhadap tuntutan alam dan zaman baru menjadi suatu keniscayaan, tentunya dengan tetap memiliki lintasan -lintasan nilai luhur kebudayaan yang kita miliki sehingga kekhasan dan keunikan kita sebagai pribadi suatu bangsa masih tetap eksis dan relevan di setiap perubahan alam dan zaman. Tempora Mutantur Etnos Mutamur in Illis.
Cirebon, 20-11-2020