Tema: Ekonomi digital dalam perspektif teori postmodern
Beberapa waktu lalu, pengguna media sosial ramai memperbincangkan Metaverse setelah Presiden Joko Widodo menyebut istilah tersebut dalam pembukaan Muktamar NU. Kemudian netizen ramai-ramai mempertanyakan apa itu Metaverse? Benarkah Metaverse adalah kelanjutan dari era 4.0? Â
Usut punya usut, Metaverse sudah lama ramai diperbincangkan khalayak sebab Facebook mengganti nama perusahaan induknya menjadi Meta. Mark Zuckerberg sebagai co-founder sekaligus CEO Facebook mengemukakan bahwa perusahaannya telah menggelontorkan dana sebesar 10 Juta USD untuk mengembangkan dunia virtual Meta ini.
Mengutip penjelasan Dr. Indrawan Nugroho, seorang youtuber dan CEO dari Corporate Innovation Asia (CIAS), Metaverse merupakan jaringan luas dari dunia virtual tiga dimensi yang yang bekerja secara real-rime dan persisten dengan jumlah pengguna yang tidak terbatas, serta mendukung kesinambungan identitas, objek, sejarah, pembayaran, dan hak. Singkatnya, Metaverse adalah ruang virtual yang dapat dijelajahi dengan orang lain menggunakan perangkat AR (augmented reality) dan VR (virtual reality). Teknologi ini digadang-gadang sebagai revolusioner yang akan mengubah hidup manusia mulai dari bersosialisasi, bekerja, bersekolah, berbisnis, dan sebagainya. Namun hingga saat ini, Metaverse yang dikonsepkan Mark Zuckerberg masih sekadar gagasan yang belum ada wujudnya. Â Â
Nantinya, di dalam Metaverse ini kita bisa melakukan kegiatan sehari-hari layaknya kehidupan normal melalui avatar. Avatar dalam dunia Meta dapat dibuat seperti apapun yang kita inginkan, juga dapat didandani layaknya boneka barbie, membeli pakaian dan hunian, serta bekerja layaknya manusia dalam dunia nyata. Dengan menggunakan mata uang seperti bitcoin, crypto atau bahkan mata uang baru khusus Metaverse nantinya transaksi dapat dilakukan. Di sanalah letak digitalisasi yang dijajah kapitalisme ekonomi.
Mekanisme Kapitalis dalam Dunia Simulacrum
Kapitalisme saat ini berkembang secara dramatis. Kapitalisme sudah menjadi fenomena global yang tidak terikat dari regulasi nasional. Barat bukan lagi sebagai pemain ekonomi kapitalisme yang signifikan, melainkan korporasi multinasional atau transnasional (Haryanto, 2012: 302). Itulah definisi dari Meta, perusahaan transnasional yang beroperasi di negara-negara tetapi tidak bekerja untuk negara-negara tersebut. Upaya Meta tidak lain meraup untung sebesar-besarnya ke seluruh pelosok dunia dan menguasai pasar bebas. Dengan marketing tag "siapapun bisa menjadi apapun", Meta mencoba bekerja dibawah mekanisme kapitalis untuk memuaskan imajinasi khalayak. Melalui mekanisme pasar yang murni tanpa campur tangan negara.
Jauh sebelum Metaverse dan bahkan media sosial ramai di tengah-tengah masyarakat kita, Jean Baudrillard telah lebih dulu menggagas konsep konsumsi, simulacra dan hiper-realitas. Seperti dapat membaca masa depan, Baudrillard menjelaskan bahwa dalam bentuk yang ekstrem kapitalisme lanjutan ditujukan pada penciptaan dan peningkatan kapasitas konsumsi. Menurut Baudrillard, konsumsi kini telah menjadi faktor fundamental dalam ekologi spesies manusia (Baudrillard, 1970: 29).
Sejalan dengan konsep Metaverse, di mana Meta menginginkan masyarakat untuk terus melakukan konsumsi dalam bentuk yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dalam dunia Meta, kita dapat membeli pakaian, mobil, tanah, hingga benda seni dalam bentuk virtual. Nantinya sertifikat atas barang-barang virtual tersebut akan diberikan kepada para konsumen yang selanjutnya dapat disimpan, digunakan, ataupun dijual kembali.
Adapun simulasi sendiri merupakan tahap akhir dalam perkembangan dunia simulacrum. Simulasi merupakan realitas yang palsu tetapi masih dapat dilihat asli atau palsu. Identitas seseorang tidak dapat ditentukan oleh dan dari dirinya sendiri, melainkan ditentukan oleh konstruksi tanda, citra, dan kode yang membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka sendiri dan hubungannya dengan orang lain. Dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam satu ruang yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu belaka. Ruang realitas semu ini merupakan ruang antithesis dari representasi semacam dekonstruksi representasi itu sendiri. Simulasi menciptakan dunia yang berbeda lagi dengan menciptakan realitas lain di luar realitas faktual yang disebut sebagai hiper-realitas.
Dalam satu dimensi ruang dan waktu yang sama. Simulakra tidak memiliki acuan, sehingga perbedaan antara yang duplikasi dan yang asli menjadi kabur. Simulakra memungkinkan seseorang dapat menjelajahi berbagai fragmen realitas, baik nyata dan semu. Inilah yang ingin dikembangkan oleh Metaverse. Identitasnya dalam simulakra a la Metaverse ditentukan oleh Avatar yang akan merepresentasikan dirinya. Manusia seolah diberikan keleluasaan tanpa batas untuk menjelajah dalam teknologi Meta, tetapi nyatanya dunia itu hanyalah semu. Manusia menjadi kebingungan dalam melihat mana realitas yang nyata dan semu. Sungguh sebuah ironi. Simulasi yang coba dibuat oleh Meta adalah sebuah hiper-realitas yang menghapuskan perbedaan antara yang nyata (real) dan yang imajiner.