Mohon tunggu...
Nur Nofitasari
Nur Nofitasari Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh keimanan, serta memperhalus perasaan". Tan Malaka

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Pembunuh Berdarah Dingin

18 Maret 2024   14:47 Diperbarui: 18 Maret 2024   15:04 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(ESAI WAWASAN KEBAHASAAN)

Pembunuh Beradarah Dingin Bahasa Indonesia 1

Pada sebuah grup media sosial WhatsApp sekolah, salah seorang guru mengunggah sebuah poster yang bertuliskan, we are hiring open recruitment guru dan dikhiri dengan tambahan keterangan, contack person. Bentuk campuran bahasa asing seperti ini memang selalu digunakan pada setiap poster di sekolah tempat saya mengajar dengan informasi yang berbeda. Setelah itu, saya langsung menanggapi, "Mengapa harus menggunakan bahasa Inggris?" dan si pengunggah membalas, "Agar lebih ringkas saja." serta merta saya menjawab. "Jika demikian alasannya bubarkan saja program bulan bahasa dan mata pelajaran bahasa Indonesia (BI)." Balas saya emosional. Seketika itu saya langsung dihubungi secara pribadi yang bersangkutan. Dalam percakapan tersebut saya menyatakan keprihatinan atas sikapnya yang menggunakan bahasa Inggris dalam situasi dan kondisi yang tidak tepat.

Lain kali, sekolah mengadakan sebuah program kegiatan Workshop Implementasi Kurikulum Merdeka yang dihadiri guru seluruh bidang mata pelajaran. Dan pada kesempatan lain pula, saya menerima sebuah sertifikat penghargaan yang bertuliskan Best Coach dalam acara Bulan Bahasa yang bertajuk Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing. Dengan rasa haru dan iba saya membaca huruf demi huruf yang membentuk kata bahasa asing tersebut sambil melelehkan kesedihan tanpa air mata di tengah-tengah bulan bahasa diperingati.  

Jauh melampaui lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Saya membaca buku Pos Jaga Bahasa Indonesia yang ditulis dosen tata bahasa UNESA Gatot Susilo Sumowijoyo pada salah satu esainya yang berjudul Pembunuh Berdarah Dingin. Yang dimaksud pembunuh berdarah dingin menurut beliau ialah setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan penggunaaan (BI) yang dicampur dengan bahasa asing.

Lebih jauh lagi menurut beliau, bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai tanggung jawab yang sama untuk dituntut mampu menggunakaan (BI) yang baik dan benar. Apakah (BI) yang baik dan benar itu? Ialah (BI) yang bersih dari kesalahan. Salah satunya ialah (BI) yang terbebas dari unsur bahasa asing. Bahasa asing menjadi salah satu penyebab rusaknya (BI) disebabkan oleh penuturnya sendiri yang dengan mudah dan tanpa merasa bersalah mencampuradukan dan menyelipkannya pada bahasa mereka sendiri. Bahasa menunjukkan bangsa dan (BI) merupakan jati diri identitas negara. Jika (BI) dicampuri bahasa asing maka jati diri bangsa sebagai identitas yang kokoh akan terkikis dan akhirnya punah, betapa mengerikannya hal itu. Patut kiranya kita jangan sampai menjadi pembunuh berdarah dingin yang dengan sengaja membunuh (BI) dengan menggunakan bahasa asing tanpa merasa bersalah. Terlebih jika penutur tersebut berasal dari orang terpelajar dan bukan orang awam. Tentu hal ini sangat memprihatinkan.

Mengapa? Orang terpelajar seperti guru, dosen, ilmuwan, pejabat, dan akademisi, ialah orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu, pemikiran, pengembangan riset pengetahuan dan teknologi, orang-orang tersebut ialah contoh yang akan menjadi panutan orang awam (bukan terpelajar) dalam menentukan sikap dan cara berpikir, termasuk penggunaan bahasa. Jika orang terpelajar cenderung abai dan tidak mampu atau bahkan tidak mau menggunakaan (BI) yang baik dan benar, bisa dipastikan orang tersebut tidak layak menjadi panutan. Dan sudah tentu tidak layak disebut sebagai orang terpelajar. Lain itu, orang terpelajar mempunyai beban tanggung jawab lebih tinggi dari orang awam baik secara moral, budaya, sosial, dan intelektual. Tersebab dalam dunianya, mereka kerap terlibat dalam situasi percakapan resmi entah di kampus, kantor, seminar, kegiatan belajar mengajar, atau ketika sedang rapat. Itu semua melibatkan lawan bicara yang pasti akan menilainya, baik secara langsung atau tidak atasannya dalam menggunakan (BI). Dengan demikian orang terpelajar memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan (BI).

Penggunaan kosa kata bahasa asing (Inggris) dalam berkomunikasi dewasa ini semakim tak terbendung. Hal ini ditengarai oleh anggapan gengsi dan prestise bahasa asing lebih tinggi daripada (BI), selain pada alasan tidak adanya padanan dalam (BI) untuk menyatakan sebuah maksud yang menurut mereka hanya bisa dituturkan dalam bahasa asing. Tentu alasan tersebut tidak benar dan hanya dalih. Gejala tersebut menurut Ivan Lanin, seorang wikipediawan dan pecinta (BI) menyatakan penolakannya dalam buku berjudul Xenoglosofilia yang membahas kosa kata bahasa asing terutama dalam dunia komputer berikut padanannya dalam (BI). Xenoglosofilia merupakan gejala bahasa ketika penutur (BI) lebih merasa bangga dan naik gengsinya ketika menyelipkan bahasa asing (Inggris) dalam percakapan maupun komunikasinya. Xenoglosofilia dan sikap mental abai atau meremehkan (BI)-lah yang menyebabkan (BI) menjadi asing di negeri sendiri. Sikap tersebut haruslah diubah menjadi usaha sadar dan peduli serta mau mempelajari (BI) agar BI sebagai salah satu kekayaan negara tetap utuh dan kokoh.

Demikianlah mereka yang menggungah poster we are hiring, menuliskan best coach, ataupun yang menggunakan kata Workshop dan contack person, mereka adalah kaum terpelajar (guru) yang semestinya terhindar dari sebutan pembunuh berdarah dingin. Jika mereka tidak ingin disebut demikian, tentulah mereka harus mengganti kata-kata tersebut dengan, dibuka lowongan kerja, pelatih terbaik, pelatihan, dan narahubung. Selanjutnya, mereka harus insaf dan tidak mengulanginya lagi serta terus menggunakan (BI) yang terbebas dari unsur bahasa asing.

Mojokerto, 18 Desember 2023.

1Esai ini diilhami dari buah pemikiran Gatot Susilo Sumowijoyo dalam buku Pos Jaga yang diterbitkan oleh Unesa pada tahun 2006. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun