Cerita Lanjutan untuk Ovi
Oleh: Nur Nofitasari
Ia menggeliat dan mendesah di samping saya. Tangannnya yang jenjang dikibas-kibaskan pada kain sprei ranjang seakan ingin menggapai sesuatu. Kemudian pandangan kami bertemu. Ia merayap mendekat ke kepala saya yang memandangi apa yang ia lakukan sejak tadi.
"Hani, buatkan aku sebuah cerita?" pintanya sambil lalu menggelendot manja melingkarkan lengannnya ke lengan kiri saya dan menyandarkan kepala di bahu kiri.
Ia sering kali meminta saya menuliskan sebuah cerita khusus untuknya. Permintaan yang menurut umum lumrah diminta sebagai seorang yang mempunyai suami merangkap sebagai pengarang. Permintaan yang bagi saya cukup sulit saya wujudkan. Sungguh. Saya kelimpungan ketika ia kerap meminta saya untuk menuliskan sebuah cerita untuknya. Cerita yang ditulis khusus menceritakan tentang berbagai peristiwa tentangnya.
Meskipun demikian, saya tetap berusaha sedapat mungkin menuruti apa yang diminta oleh istri saya yang sangat saya cintai. Bukankah salah satu wujud mencintai mau melakukan apa saja demi orang yang dicintainya. Kali ini saya mencoba untuk melawan sesuatu yang ada dalam diri saya perihal menulis cerita untuk kekasih.
Dan saya pun mulai menuliskan sebuah cerita yang saya cari-carikan dalam imaji. Di sana saya menemukan kenyataan yang sudah saya duga jauh sebelumnya. Dan sekali lagi saya tekankan bahwa saya sangat mencintai kekasih saya. Saya sudah menemukan bagian kebahagiaan yang ingin betul saya abadikan dalam sebuah cerita. Namun inilah lagi-lagi kegagalan itu terjadi. Cerita yang saya tuliskan tidak jauh dari sebuah kisah kesedihan.
/1/
Sato langsung menyahut sloki yang hampir masuk mulut Toni. Meminumnya dalam sekali tenggak. "Tuangkan satu lagi," perintahnya kepada Toni. Dan ia lagi-lagi menenggaknya dalam sekali minum. Toni geleng-geleng kepala. "Kenapa lagi?" Sato hanya diam dengan pandangan tajam. Toni tahu, bahwa ia harus menuangkan minuman itu lagi.
"Rilekslah...jangan tegang begitu." Toni memandangi lengan-lengan tangan Sato yang masih bergetar. Â Ada trauma berat di buku-buku lengan itu. Toni tahu bahwa trauma itu kini menjangkiti Sato lagi.
Di rumah, Sari sibuk mencari signal. Digenggamnya dengan erat telepon selular yang basah air mata. Ia pencet sekali lagi nomor yang berkali-kali ia tuju. Namun, hanya suara operator yang berhasil ia tangkap. Ketika pada pemberhentian satu tempat dan ada bunyi nada sambung, buru-buru ia menajamkan telinga. "Angkat sayang, please...ayo ang...kat..." isak Sari dalam tangisnya. Dengung nada bunyi telepon berbunyi berkali-kali. Tak ada jawaban. Sari tetap mencoba terus menerus menelepon. "Halo, Mas, Mas...halo Mas...halo!!!..."