Di era milenial ini, adab bukan lagi tujuan utama pendidikan. Baik pendidik maupun peserta didik berlomba-lomba dalam bidang akademik saja. Mereka melupakan tujuan pendidikan yang utama yaitu pembentukan moral yang beradab. Tidak sedikit kasus pelanggaran yang terjadi baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Peserta didik yang tawuran, merokok, dan berperilaku tidak sopan terhadap guru dan orang yang lebih tua kini marak terjadi.
Belum lagi dengan berkembangnya teknologi yang banyak mempengaruhi mereka di era globalisasi ini. Budaya dari luar masuk tanpa adanya perisai yang membentenginya, malah cenderung diguguh dan ditiru oleh generasi milenial. Lantas, siapakah yang harus bertanggungjawab dalam hal ini?
Dalam ilmu filsafat pendidikan menurut Suriasumantri (1993), telah dipelajari hakikat pelaksanaan dan pendidikan meliputi tujuan, latar belakang, cara hasil, dan hakikat pendidikan. Filsafat pendidikan berupaya untuk memikirkan permasalahan pendidikan, hubungan antara pendidik dengan peserta didik dalam pembelajaran, serta aspek-aspek pendidikan yang lain.
Pendidikan dapat dibedakan menjadi dua wilayah yaitu humanisme dan akademik. Keduanya merupakan aspek penting yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Pertanyaan yang muncul adalah mana yang lebih dulu diajarkan, adab atau ilmu?
Dalam hal ini peran orang tua sangat dibutuhkan untuk pendidikan anak usia dini. Orang tua mengajarkan norma kesopanan dan ketuhanan pada anak-anaknya, dan membiasakan berperilaku sesuai moral, serta menanamkan adab sebelum anak memasuki usia sekolah. Seorang anak ibarat kertas putih yang bisa diisi hal apa saja bergantung siapa dan bagaimana mengisinya. Namun sulit rasanya hal itu dapat terjadi di era sekarang ini. Dimana para orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada guru di sekolah, belum lagi adanya perbedaan konsep yang ditanamkan guru di sekolah dengan orang tua di rumah.
Selain orang tua, guru pun turut bertanggung jawab dalam pembentukan adab peserta didiknya. Guru adalah seseorang yang diguguh dan ditiru oleh peserta didinya. Menjadi guru berarti siap dengan segala konsekuensi yang ada.
Jika guru ingin peserta didiknya menjadi anak yang taat aturan, maka guru harus lebih mengikuti aturan. Jika guru ingin peserta didiknya baik dalam agama, maka guru harus lebih baik lagi. Banyak guru di era sekarang kehilangan wibawa dan kharismanya sebagai guru akibat tindakannya sendiri. Sehingga ketika peserta didik melihat maka akan ditiru (Az-Zarnuji, 2019).
Ketika orang tua dan guru memaksimalkan tugasnya masing-masing dan disempurnakan dengan peraturan pemerintah yang semakin membangun karakter bangsa, maka dapat dipastikan terbentuk generasi milenial yang beradab.
Referensi:
Suriasumantri, Jujun S. 1993. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustakan Sinar Harapan
Az-Zarnuji, Imam. 2019. Ta'limul Muta'allim: Pentingnya Adab Sebelum Ilmu. Jakarta: AQWAM