"Iya, hari ini rasanya capek banget, deh. Maksudnya, tadi mau tidur dulu sebentar terus bangun lagi untuk shalat Isya. Eh, jadi mimpi ini, deh," terangku.
"Ya, sudah, shalat dulu. Nanti tidur lagi. Tapi jangan lupa berdoa dulu," perintah Diah.
"Iya," sahutku menurutinya.
Segera kubergegas ke kamar mandi, wudhu dan menunaikan shalat Isya. Di tengah shalat, tetiba air mataku menetes. Mimpi tadi terasa membekas. Kubayangkan, tadi diriku seperti berada di persimpangan jalan, berpapasan dengan dua truk besar dan berjalan miring ke arahku. Sementara di samping kananku ada jurang yang dalam dan terjal, penuh bebatuan. Terasa betul bahwa hanya kepada Allah-lah kita berlindung, bukan kepada yang lain.
Rasanya baru kali ini kurasakan kekhusyukan dalam shalat Isyaku. Air mata sampai menetes begitu saja. Untaian doa dan permohonan ampunan-Nya kulantunkan. Biasanya, aku menjalankan shalat hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja. Tanpa memperhatikan kualitasnya. Namun malam ini terasa berbeda.
***
Selepas shalat Isya, mataku tak dapat dipejamkan lagi. Hati terasa gelisah. Harap. Cemas. Takut. Aku sendiri tak mengerti, apa arti mimpi tadi. Apakah itu teguran dari Allah? Mengingatkan aku akan Kuasa-Nya. Ataukah hanya bunga tidur, seperti dikatakan Diah tadi? Yang pasti, membuatku jadi merenung akan perjalanan hidupku selama ini. Sejauhmana upaya untuk mendekatkan diriku kepada-Nya.Â
Aku memang terlahir dari orang tua dan keluarga muslim. Namun, Islam yang kutahu hanya yang wajib-wajib saja. Seperti shalat, puasa, dan lainnya. Membaca Alquran hanya sekedar rutinitas, tanpa ada upaya memahaminya. Kujalani hidup seadanya. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja.Â
Kebandelanku terjadi, ketika ada sesuatu yang dilarang Allah namun kulakukan. Banyak yang 'kugugat', mengapa dilarang? Atau melaksanakan kewajiban masih kurang. Misalnya, pertama, tentang kewajiban menutup aurat. Dulu, saat SMP aku berniat ingin menutup aurat setelah mengikuti acara pesantren kilat yang diadakan  di sekolah. Teman-teman banyak juga yang memutuskan menutup aurat. Namun, ternyata tidak bertahan lama, baju muslimahnya ditanggalkan kembali. Melihat itu, aku jadi berpikir ulang mengenai niatku menutup aurat. Aku tidak mau seperti mereka yang tidak punya pendirian. Akhirnya, kutangguhkan dulu niatku, sampai betul-betul mantap dan tidak dibuka lagi. Khawatir termasuk dalam mempermainkan agama. Begitu pikirku. Akhirnya, aku baru melaksanakan niatku saat kuliah, belum lama ini.
Kedua, tentang larangan berpacaran. Saat pertama kali mendengarnya, aku sempat 'protes', mengapa dilarang? Menurutku, bagaimana bisa menemukan jodoh kalau nggak pacaran? Bukankah harus diteliti dulu, mengenal dulu, baru yakin bahwa dialah yang terbaik untukku. Enggak mau seperti beli kucing dalam karung. Bukankah suami kelak akan menjadi imamku. Akan membawaku hingga ke surga? Pokoknya, masih banyak lagi yang lainnya. Begitu banyak pertanyaan yang ingin kupecahkan sendiri. Agar aku mengerti makna hidup ini. Semua ingatan itu melintas begitu saja di benakku.Â
***