Sebenarnya aku tau, aku paham kalau Julian tak pernah memikirkanku seperti yang kulakukan tentang dirinya. Aku tau bahwa dirinya adalah satu kesatuan yang tertutup. Ia hanya menceritakan yang sewajarnya. Ia hanya menceritakan yang perlu. Ia tidak mengizinkan siapapun untuk memasukki taman miliknya. Ia tidak membiarkan seseorang melihat ke dalamnya, apakah bunga di dalamnya bermekaran indah, atau kahhanya hijau rumput liar, atau gersang tanpa tanaman. Ia tidak pernah menceritakan bunga apa yang tumbuh dalam tamannya, warna apa saja yang ada pada bunga-bunga miliknya, atau rumput liar apa saja yang ada di sana, tinggi semua kah, atau rendah semua. Ia tidak mengeluhkan apakah sudut-sudut tamannya berjamur, atau berlumut. Ia tidak pernah meminta tolong membasmi hama yang berjangkit di dalam tamannya. Dia selalu membiarkan pagar tinggi taman itu selalu tertutup. Padahal beberapa orang dengan sengaja menunggu di depannya, menunggu seandainya ia mengoleskan pelumas pada engsel-engsel pagar tinggi tamannya agar mudah terbuka. Yaah mungkin dulu saat engsel-engsel itu diberi pelumas, ia telah mengizinkan seseorang, dan mungkin beberapa orang untuk melihat bunga-bunga cantik milknya. Bisa jadi orang itu juga turut menanam bunga dalam tamannya, dan ketika orang itu memutuskan untuk pergi, mengunjungi taman yang lain, bunga yang tertinggal dalam taman milik Julian, masih ada. Julian membiarkannya tetap ada disana, merambati lahan yang lain sedikit demi sedikit. Mungkin ia masih berharap orang itu sudi kembali mengunjungi tamannya, dan ketika orang itu melihat bunga yang ia tanam masih tumbuh dengan cantiknya, ia akan sadar betapa Julian selalu menunggu saat ia memasukki tamannya lagi. Orang itu mungkin akan sangat dibenci oleh mereka yang telah menunggu dengan sabar di luar pagar tinggi, mereka mengetuk dengan halus, memanggil dengan lembut, berharap Julian mau memberi pelumas pada engsel pagarnya yang berkarat. Dan membiarkan salah satu dari mereka untuk menebar benih yang baru.
Sejujurnya aku sangat penasaran pada taman miliknya. Tapi aku tidak berniat menebar benih bunga didalamnya, aku tau rasanya ditebari benih bunga dalam taman milikku tanpa seizinku. Rasanya sangat menyiksa, saat kamu tidak tahu apa yang tumbuh di dalamnya sebelum ia muncul keluar dari dalam tanah. Kamu akan bertanya-tanya, benih tanaman apa ini? apa yang harus kulakukan? Aku ingin tahu tanaman apa yang akan muncul dari benih ini, tapi rasanya sesak sekali, kenapa ia membenamkannya terlalu dalam? Kenapa ia tidak mencoba merawatnya saja sendiri? Kenapa ia meninggalkan benih ini tanpa izinku? Apa yang harus kulakukan? Merawatnya ataukah melupakannya? Sedangkan aku tidak memiliki sekop untuk menggalinya lalu membuang benih ini keluar. Rasanya sungguh tersiksa. Aku benci sekali jika ada yang tanpa sengaja menebarkan benih dalam tamanku. Karena itulah aku akan mencoba untuk selalu memeriksa kantong benihku, jika aku terlalu dekat dengan taman milik Julian. Aku takut jika angin meniupkan serbuk benih itu ke arah taman milik Julian. Aku takut ia merasakan rasa tersiksa seperti itu. Sekalipun aku ingin memasuki tamannya, sungguh aku tidak berniat menebar apapun didalamnya. Aku hanya penasaran saja, apakah dalam tamannya turun hujan? Apakah setiap hari atau hanya sesekali? Apakah ada saatnya ia menata taman miliknya? Apa ia akan mencabuti rumput liar dan menanam tanaman buah yang bermanfaat? Mungkinkah ada bunga yang sakit? Yang rusak karena terserang hama dan ia membiarkan bunga itu tetap sakit, karena ia tidak pernah memberitahukan seseorang bahwa ia mengalami serangan hama pada salah satu bunganya. Dan kenapa ia tidak memberitahukan seorangpun tentang bunganya yang sakit? Kenapa ia menjadikan taman itu tidak terlihat dari luar pagar? Kenapa ia tetap tidak meminta tolong pada siapapun padahal ia tampak sangat membutuhkannya? Kenapa ia bersikeras tertawa, sedangkan matanya tidak tertawa? Apa aku terlalu sok tahu ikut campur dalam hidupnya? Aku harus bagaimana lagi? Aku tidak tega membiarkan ia seperti itu, walaupun ia juga sama keras kepalanya tidak membiarkanku berkeliling tamannya. Jika mengingat wajahnya yang seperti orang terluka sangat parah, rasanya aku ingin menangis. Sediiih sekali, tapi aku tidak tahu apa yang membuatku sesedih ini hingga ingin menangis. dan keadaan sebaliknya juga terjadi, jika ia tertawa (wajah dan matanya), aku dengan semaunya merasa senang juga. Ih, jijik ngga sih dengernya? Serasa.. apa ya? Agak merinding gitu tulisan ini. Tapi aku harus tetap menuliskannya, karena Julian sangat berarti untukku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H