Teori konflik keagamaan menurut lewis A. Coser
Konflik-konflik di dunia sering terjadi dengan tanda suatu problem kecil menjadi besar, dengan arti bahwa suatu permasalahan yang kecil dapat menjadi besar dengan isu-isu yang telah disebarkan dan dapat menyebabkan kesalahfahaman. Konflik juga diibaratkan seperti air laut yang tidak pernah surut dari permukaan, sehingga menciptakan fenomena baru dalam dinamika kehidupan. Munculnya konflik iti bagaikan bola salju yang menggelinding tiada henti dalam derasnya arus perilaku dan keegoisan manusia, sehingga konflik itu sulit untuk diselesaikan apabila konflik tersebut bersifat akut dan kronis.
Konflik adalah percecokan, perselisihan dan pertentangan antara dua belah pihak yang berbeda pendapat, keyakinan, kesalahfahaman yang dapat menimbulkan kekerasan, karena konflik dapat muncul dengan sendirinya tanpa kita yang minta maupun menunggu terjadinya. Kebanyakan konflik itu bersifat laten dan menjadi bumbu kehidupan yang tidak pernah mati. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi karena seseorang merasa tidak puas dengan sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan pikiran, rasionalitas dan keinginan.
Sedangakan konflik menurut Louis Coser dalam bukunya yang berjudul "Functions of Social Conflict" mengatakan bahwa konflik adalah "a struggle over value and claim to secure status, power, and resources a struggle in which the main aims of opponents are to neutraize injure or eliminata".Â
Dalam definisi ini, coser memiliki pandangan mengenai konflik yang didasari atas rasionalitas ekonomi dan politik atau bahkan kekuasaan. Jika anda melihat dari dekat dalam macam-macam tindakan kekerasan terkait konflik agama itu lebih banyak berasal dari sumber ideologi agama itu sendiri dan rasionalitas yang mendasari konflik itu lebih jelas dan simbolis rasionalitas biasanya diungkapkan dengan komunitas religius sebagai bentuk ketaatan terhadap ajaran agama.
Dalam membahas tentang teori konflik menurut Louis Coser, lewis coser sendiri membagi konflik menjadi dua bagian, yaitu konflik yang realitis dan yang tidak realitis. Konflik realitis adalah konflik yang berasal dari kekecewaan individu atau kelompok masyarakat terhadap sistem dan tuntutan hubungan sosial.Â
Misalnya; mahasiswa memprotes atau mendemo dekan atas tidak adanya banding UKT dan juga pengumuman pembayaran UKT dikasih kasih waktu yang singkat. Sedangkan konflik non realitis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan persaingan yang berlawanan, akan tetapi kebutuhan yang muncul pada konflik ini dapat melepas ketagangan dari kedua sisi, yang berarti bahwa konflik ini merupakan upaya penguasaan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang menjadi bagian dari konflik dengan tujuan untuk memanipulasi konflik yang ada sehingga konflik yang terjadi bisa diselesaikan.
Teori konflik menurut Lewis A. Coser sebagai berikut;
- Permusuhan dengan kelompok sosial yang intim
- Ketika konflik berkembang dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antar konflik realitas dan non realitas itu lebih sulit untuk dipertahankan. Sedangkan dekatnya suatu hubungan itu sama halnya dengan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanamkan, sehingga makin besarnya kecenderungan untuk menekan ketimbangan mengungkapkan rasa permusuhana maupun kebencian.
- Fungsionalitas konflik.
- Dalam teori ini Coser menyatakan bahwa yang penting dalam menentukan apakah suatu konflik itu bersifat fungsional atau tidak itu berasasl adri tipe isu sari subjek konflik tersebut. sebuah konflik dapat dinyatakan sebagai fungsional positif jika ia tidak mempertanyakan dasar-dasar hubungan dan bisa disebut fungsional negatif jika menyerang sebuah inti.
- Kondisis-kondis yang mempengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktir kelompok
- Pandangan Coser mengenai kelompok luar akan membantu memantapkan batas-batas struktural dan juga dapat mempertimggi integrasi didalam sebuah kelompok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H