Mohon tunggu...
Nur Medawati
Nur Medawati Mohon Tunggu... -

seorang pendidik\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kupu-Kupu Menjadi Kepompong

3 April 2014   03:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:09 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KUPU-KUPU MENJADI KEPOMPONG

Sri tak pernah menduga bahwa hubungan yang telah dijalinnya selama enam tahun bersama Ido akan berujung pada akhir yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya. Beitu mahir dan lihainya Ido meyembunyikan selama ini. Dalam kebimbangan, kemarahan, dan kesedihannya itu, Sri hanya bisa melakukan satu hal yang sering dilakukan oleh kaum wanita pada umumnya, yaitu menangis.
Sebagai seorang wanita yang dilahirkan dalam keluarga terhormat dan berkecukupan, Sri bukanlah perempuan yang manja. Ia dididik dan dibesarkan dengan penuh kedisiplinan dan tanggung jawab. Didikan yang diajarkan oleh orang tuanya itulah yang akhirnya membentuk ia menjadi seorang wanita yang kuat, mandiri, dan tegar. Namun, kini ketegarannya telah melapuk. Pertahanannya mulai melemah. Benteng yang dulu dibangunnya begitu kokoh untuk mempertahankan cintanya dengan Ido, kini mulai retak dan tinggal menunggu waktu untuk merubuhkannya.
Meskipun hidup yang dijalaninya kini begitu sakit, namun tidak pernah ada kata menyesal dalam dirinya. Hal itu sudah dipatrikan Sri dalam hatinya sejak malam itu. malam di mana Ido menyatakan niatnya untuk menikahi Sri kepada orang tua Sri.
“Pak, Bu. Saya berniat untuk menikahi Sri. Apakah Bapak dan Ibu berkenan mengabulkan niat saya?”
“Dari awal sudah saya katakan pada Sri bahwa saya tidak pernah merestui hubungan kalian. Eh, malah mau nikah pula sekarang.”
“Saya sudah tahu, Pak. Sri sudah pernah cerita pada saya.”
“Nah, itu sudah tahu. Tapi kok malah berani pula mau melamar. Terlalu banyak perbedaan antara kalian. Baik dari segi ekonomi, suku, maupun agama.”

Pada awalnya Sri sebenarnya sudah menduga bahwa penolakan itu akan terjadi. Sejak pertama kali Sri memperkenalkan Ido kepada orang tuanya, langsung mendapat penolakan keras dari ayah dan ibunya. Namun, ia tidak menghiraukannya. Matanya telah dibutakan oleh cinta. Hingga akhirnya Sri mencari segala cara agar ia dan Ido dapat menikah.
“Pak, Bu. Sri hamil.”
Kata hamil yang kulontarkan sontak membangunkan tempramen ayah dan ibu, yang pada akhirnya mendaratkan tamparan dan makian pada Sri. Saat itulah Sri tersadar bahwa apa yang dilakukannya benar-benar telah mengecewakan mereka. Pada hal, selama ini ayah dan ibu Sri adalah orang yang paling sabar. Jangankan menampar, membentak Sri saja tidak pernah dilakukan oleh ayah dan ibunya. Mungkin inilah puncak kesabaran mereka.
“Hanya kamu, Sri yang Bapak dan Ibu andalkan. Tapi apa yang kami dapat. Hanya rasa malu dan kecewa. Kau sudah melemparkan ke muka Bapak dan Ibumu.”
“Maafkan Sri, Pak, Bu.”
“Daripada punya anak satu tapi membuat malu, lebih baik tidak punya anak sama sekali.”
Dengan terisak, Sri melangkahkan kakinya meninggalkan rumah orang tuanya dan membina rumah tangga dengan Ido hingga sekarang.
Di tiga tahun pernikahan mereka, semua masih dapat dilalui Sri dengan mulus, meskipun rintangan tetap ada, seperti masalah ekonomi. Namun, Sri masih bisa mengatasinya dengan mengajar di sebuah sekolah dasar, karena pada dasarnya Sri merupakan tamatan perguruan tinggi dengan jurusan pendidikan guru sekolah dasar. Sedangkan Ido, yang hanyalah tamatan SMA, bekerja sebagai buruh bangunan, itu pun kalau kebetulan ada tawaran. Kalau tidak, Ido hanya menghabiskan waktu di rumah saja menjaga anak mereka, yang biasanya dititipkan pada tetangga bila mereka berdua sedang bekerja.
Ketika Sri melahirkan anak kedua mereka, Ido memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu sebuah bengkel. Untuk mewujudkan niat suaminya, Sri rela mengajukan pinjaman di tempat ia mengajar, sedangkan kekurangannya ia tutupi dengan menjual perhiasannya yang merupakan warisan satu-satunya dari ibunya sebelum ia pergi. Padahal, rumah yang mereka tempati kini pun masih merupakan rumah kontrakan. Dalam menghadapi keadaan ini pun Sri tidak pernah mengeluh.

Semenjak Ido memiliki usaha sendiri, waktunya pun semakin banyak di luar. Sedangkan Sri, baru tiba di rumah pada jam pulang anak sekolah. Keadaan inilah yang menuntut Sri untuk mencari pengasuh bagi anak-anaknya dengan meminta tolong pada tetangganya.
Di zaman yang sesulit ini mencari kerja, tidak membutuhkan waktu lama bagi Sri untuk mengabulkan niatnya itu.
“Nama kamu siapa?”
“Nama saya Lina, Bu.”
“Asalmu dari mana?”
“Saya dari Porsea.”
“Pendidikan terakhirmu?”
“Saya hanya tamatan SMA, Bu.”
“Baiklah. Kerjamu mencuci, menggosok, memasak, mengepel, dan menjaga anak-anak kalau saya dan Bang Ido sedang bekerja. Kamarmu di belakang. ”
Itulah awal perkenalan Sri dan pengasuh anak-anaknya, Lina.

Sebenarnya Sri telah mengetahui informasi tentang Lina dari tetangga yang diminta tolonginya. Lina merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan SMA sejak setahun yang lalu. Ayah dan ibu Lina hanyalah buruh tani dengan penghasilan yang pas-pasan untuk memberi makan sepasang suami istri dan kedelapan anaknya. Beban ekonomi yang mendesak itulah yang berhasil mendesak Lina untuk bekerja. Hingga akhirnya harapan Lina pun ibarat gayung yang bersambut.

Seiring berjalannya waktu, perekonomian rumah tangga Sri semakin membaik. Semua jalan yang dilalui begitu mulus. Tak ada lagi krikil ataupun gundukan tanah yang menghalangi laju rumah tangga mereka. Tetapi sayang, di usia pernikahan mereka yang keenam tahun, laju rumah tangga mereka tergelincir.
“Sri, suamimu tidak bekerja lagi ?” Tanya seorang tetangga Sri ketika ia berpapasan dengan tetangganya itu.
“Masih kerja, kok, Bu.”
“Biasanya kalian sama berangkatnya. Tapi udah beberapa hari ini Ibu liat kalian tidak sama lagi.”
“Oh, Bang Ido berangkatnya agak siangan, Bu.”
Percakapan Sri tadi siang dengan tetangganya itu telah mengganggu pikirannya. Hingga Sri berniat untuk memperjelasnya kepada Bang Ido.
“Abang, tadi selama beberapa hari ini pergi kerja?”
“Pergi. Memangnya kenapa?”
“Tidak ada. Cuma nanya aja.”
Mendengar jawaban suaminya itu, Sri pun menjadi tenang. Ia sangat mempercayai suaminya itu. Baginya salah satu dasar hubungan yang baik ialah adanya rasa saling percaya. Hingga di minggu kedua, bulan ketiga, tahun keenam masa pernikahan mereka.
Ketika itu, Sri tidak bekerja karena saat itu merupakan hari libur nasional. Bila hari libur, Sri lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bersantai bersama anak-anak sambil menikmati siaran televisi. Tepat pukul satu siang, Lina menghampiri Sri yang sedang bersantai dengan anak-anaknya di ruang tamu.
“Bu, ada yang mau saya bicarakan. ”
“Bicara apa , Lin?”
“Tentang saya, Bu.”
“Kamu mau pulang kampung?”
“Tidak, Bu.”
“Jadi?”
Lina hanya terdiam. Ia hanya menunduk seolah sedang berpikir keras mencari cara untuk memulai kalimatnya.
“Sebelumnya, saya mau minta maaf sama Ibu.”
“Lho, kamu kok minta maaf. Memangnya kamu salah apa?”
“Saya hamil, Bu.”
“Hamil? Sudah berapa bulan?”
“Tiga bulan.”
“Orang tuamu sudah tahu?”
“Belum. Baru Ibu yang tahu.”

Kali ini Sri terdiam mencoba mencoba mencari solusi yang tepat yang akan ditawarkannya pada Lina. Sri tidak terlalu terkejut mendengar kabar kehamilan Lina karena ia sendiri pun pernah mengalami hal tersebut, sekitar enam tahun yang lalu.
“Sudah berapa lama kalian pacaran?”
“Sudah delapan bulan, Bu.”
“Pacarmu sudah tahu?”
“Saya tidak berani memberitahukannya”
“Ya, sudah. Sekarang kamu suruh pacarmu menjumpai saya. Biar kita selesaikan. Bagaimana pun dia harus menikahimu.”
“Pacar saya Bang Ido, suami Ibu.”

Bagaikan disambar petir di siang bolong. Itulah yang dialami Sri saat ini. Kalimat terakhir yang diucapkan Lina telah berhasil membungkam mulutnya. Ia tidak dapat berkata-kata. Perasaannya kini hancur. Hatinya tercabik-cabik. Keprihatinan yang dimilikinya terhadap Lina sekejab menjadi buyar ibarat debu yang tertiup angin. Semuanya berubah menjadi kebencian dan kemarahan. Hanya air matalah yang dapat dikeluarkannya kini.
Pengorbanan, ketulusan, keteguhan telah rubuh. Satu kalimat yang begitu mujarab yang mampu menggoyahkan enam tahun, tiga bulan, dua minggu jalinan rumah tangga Sri. Sri telah meninggalkan segalanya, baik orang tuanya maupun kepercayaannya, namun semua berakhir sia-sia. Ketulusannya kepada Ido ternodai dalam waktu delapan bulan. Keteguhannya sehidup semati bersama Ido telah retak. Semua pengorbanannya seakan tiada arti, sia-sia oleh kehadiran Lina. Lina pun telah memanggil suaminya dengan sebutan Bang Ido. Sebutan yang hanya dilontarkan Sri kepada suaminya. Apakah Lina berniat mengambil posisinya? Apa yang akan dilakukannya sekarang? Apakah ia harus marah pada suaminya? Bagaimana dengan nasib anak-anaknya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar-putar di dalam benak Sri.
Penyesalan kini membayang. Seandainya ia tidak bertemu Ido? Seandainya ia mendengarkan nasihat orang tuanya? Seandainya ia tidak mencari pengasuh bagi anak-anaknya? Seandainya? Seandainya? Dan seandainya.

Sri menyeka air matanya. Ia lelah baik fisik maupun psikis. Ia telah meneteskan kesedihannya hingga malam hari. Disapunya ruangan yang menjadi saksi bisu kehancuran hatinya. Ternyata Lina tidak lagi berada satu ruangan dengannya. Sri memanggil kedua anaknya, tetapi tidak ada jawaban. Sri pun menyusuri ruang tengah menuju dapur, ia tetap tidak menemukan anak-anaknya. Dengan seribu langkah, Sri menuju teras rumah. Ternyata anak-anaknya sedang bermain bersama Lina.
Sadar akan kehadiran Sri, Lina pun tertunduk. Ia merasa malu telah merusak rumah tangga majikan yang telah mempekerjakannya dan memperlakukannya dengan baik.
“Anak-anak, temani mama ya!”
“Kemana, Ma?” Tanya si bungsu.
“Jalan-jalan.”

Sri segera menggandeng tangan anak-anaknya dan membawa mereka masuk rumah. Ditinggalkannya Lina tanpa sepatah kata. Sepuluh menit kemudian, dengan berpakaian rapi Sri keluar bersama anak-anak. Jangankan menyapa hendak kemana majikannya akan pergi, menatapnya saja Lina tidak mampu.
Lina hanya terduduk di teras semenjak majikannya berlalu dari hadapannya. Ia begitu menyesal telah menghianati majikannya. Ia pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Bila ia pergi, bagaimana dengan nasib di bayi nantinya? Bila ia menetap, bagaimana ia harus menghadapi majikan perempuannya itu? Semuanya buntu. Hingga Lina memutuskan untuk menunggu Bang Ido pulang dan menceritakan semuanya.
“Mengapa duduk di luar?”
“Tidak apa-apa, Bang.”
“Mana Sri dan anak-anak?”
“Mereka pergi sejam yang lalu.”
“Kemana?”
“Tidak tahu. ”
“Ayo masuk. Abang udah lapar. ”
“Ada yang mau kubilang sama Abang.”
“Di dalam saja sambil makan.”

Lina sadar saat ini Ido sedang lelah ditambah lagi dengan perutnya yang tidak bisa diajak kompromi. Ia berpikir ini bukan saat yang tepat sehingga ia memutuskan untuk menuruti permintaan Ido. Setibanya di ruang makan, Lisa segera menyiapkan santap malam.
“Bang, saya mau bicara.”
“Ya udah. Bicara aja.”
“Bang, aku hamil.”
“Apa? Udah berapa lama?”
“Udah tiga bulan.”
“Mengapa sekarang baru bilang?”
“Aku takut, Bang.”
“Pokoknya Sri tidak boleh tahu hubungan kita. Apalagi kamu hamil.”
“Ibu udah tahu, Bang. Aku yang beritahu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun