Mohon tunggu...
Humaniora Artikel Utama

Impian Seorang Ibu yang Tunarungu

6 Mei 2015   10:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dina, nama yang sangat indah beliau adalah seorang wanita yang sangat cantik, sabar, baik, penyayang, kulitnya kuning langsat, dan sedikit gemuk. Beliau adalah ibuku, ibu yang telah melahirkan empat orang anak ke dunia ini dan aku adalah anak ketiga. Sekilas tak ada yang berbeda antara ibuku dengan ibu-ibu lain, yang memiliki keluarga dan anak-anak. Tapi sebenarnya ibuku memiliki keterbatasan, beliau adalah seorang tunarungu. Tidak hanya ibuku, orang tuanya(nenek dan kakekku) juga tunarungu. Dan ayahkupun seorang tunarungu, tapi TUHAN memperlihatkan kebesaranNya karena semua anak ibuku normal dan tak ada yang tunarungu.

Aku menyadari keterbatasan ibuku ketika masih kecil tapi namanya juga anak-anak belum paham dengan semuanya. Ibuku mencari nafkah dengan berjualan bubur kacang ijo di pasar.Ketika aku mulai masuk sekolah pada usia enam tahun, aku selalu di hina oleh teman-teman disekolah tentang ibuku yang seorang tunarungu. setiap hari aku nangis dari sekolah sampai dirumah. Begitupula ketika aku bermain dengan teman-teman diluar jam sekolah, mereka selalu menghinaku, dan lagi-lagi aku pulang kerumah dengan berlinang air mata. Jika ibuku bertanya,aku slalu bilang abis jatuh karena aku tidak mau membuat ibuku sedih jika mengetahui aku dihina karena keterbatasannya.

Kadang-kadang aku bertanya dalam hati kenapa ibuku bisa berbeda dengan yang lainnya, aku pernah berfikir TUHAN tidak adil. Seiring berjalanya waktu aku mulai memahami semuanya dan aku mulai menerima takdir yang telah di tentukan TUHAN untukku dan keluargaku. Setiap kali aku di hina orang aku hanya sabar dan terus bersabar. Aku tidak mungkin marah karena yang mereka katakan memang benar, bahwa aku adalah anak seorang tunarungu dan tukang bubur. Aku juga membantu ibuku menjual ketika libur sekolah, aku tidak malu meski harus dihina orang lain. Satu hal yang sangat aku syukuri adalah ibuku merupakan orang yang sangat peduli akan pendidikan. Jadi apapun akan beliau lakukan agar kami (anak-anaknya) bisa sekolah.

Ibuku adalah seorang wanita pekerja keras. Setiap hari Sabtu ibuku harus menjajakan jualannya dengan cara berkeliling di pasar, dari satu orang ke orang yang lain. Ada yang membelinya dan banyak juga yang menolaknya. Kalau pasarnya ramai jualannya habis terjual tapi kalau pasarnya sepi kadang-kadang jualannya tak habis terjual dan dikembalikan ke rumah untuk kami konsumsi. Selain berjualan di hari sabtu ibu juga sering menghabiskan waktunya dari pagi sampai sore di kebun membantu ayah. Ibu bekerja banting tulang semata-mata hanya untuk membuat anak-anaknya senang dan bisa mengecap bangku pendidikan. Beliau selalu mengambil patokan pada dirinya. Katanya “cukup aku saja yang tidak pernah sekolah.”

Sampai pada saat anak sulungnya mau lanjut kuliah, ibu tetap bersikeras untuk menyekolahkannya. Walaupun selama kuliah ibu harus berhutang sana-sini untuk membayar segala keperluan kuliah anaknya. Beberapa tahun kemudian anak kedua juga tamat SMA. Tapi karena dia seorang laki-laki dia mengalah untuk tidak lanjut keperguruan tinggi dan lebih memilih bekerja untuk membantu ibu membiayai pendidikan si sulung. Tahun 2006 si sulung akhirnya di wisuda, saat itu aku melihat kebahagian yang terpancar dari wajah ibuku. mungkin beliau bangga memiliki anak dengan gelar Sarjana.

Akhir tahun 2006 terjadi kebakaran didepan rumahku, setelah apinya padam banyak warga yang datang melihat sisa puing rumah yang terbakar. Pada saat itu aku jalan dengan temanku, tepat didepan orang banyak ada suara laki-laki yang berteriak. Ternyata laki-laki itu adalah Pamanku, dia adalah sepupu ibuku. Dia berkata “ kamu itu empat bersaudara tapi tidak ada yang beres”, sambil menunjuk kearahku. Aku yang merasa tidak punya masalh sempat kaget dan bingung, semua orang memandang aku, karena sangat malu aku langsung berlari pulang kerumah dan menangis. Aku sangat marah dan sempat berkata, “suatu saat aku akan membuktikan padanya bahwa yang dia ucapkan itu tidak benar,suatu saat aku akan mengajari anak atau cucunya juga”. Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku. Sampai saat ini aku tidak tau apa yang menyebabkan dia berkata seperti itu kepadaku dan suatu saat aku pasti akan menanyakan hal itu padanya.

Dua tahun kemudian si sulung lulus CPNS dengan waktu yang hampir bersamaan aku juga diterima di salah satu Universitas Negeri. Awalnya aku ragu bisa lanjut ke perguruan tinggi itu karena takut tidak ada biaya tapi ibu selalu memberikan keyakinan dan semangat buat aku. Pada saat itu aku diterima di jurusan pendidikan. Ada perasaan lega yang dirasakan ibu karena bebanya sedikit berkurang. Si sulung yang sudah berpenghasilan membantu ibu untuk membiayai kuliahku. Ada sedikit perbedaan pada saat si sulung dan aku kuliah. Kebetulan kami kuliah di tempat yang sama dan jurusan yang sama pula, tapi aku kuliah empat tahun sedangkan si sulung dulu kuliah hampir enam tahun. Jujur yang membuat aku termotivasi untuk cepat selesai adalah ucapan pamanku beberapa tahun yang lalu. Kata-katanya selalu terngiang di telingaku.

Dua tahun kuliah akhirnya adikku juga masuk kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta. Berkat kesabaran dan kerja keras ibuku, keadaan keluarga kami juga mulai berubah. Ibuku mulai di anggap keberadaannya. Padahal sebelumnya ibuku selalu dihina dan dianggap orang bodoh dimata orang lain, mgkin karena ibuku seorang tunarungu jadi beliau tidak pernah dihargai sama sekali. Saat itu aku sadar ternyata pendidikan membuat orang menghargai kita.

Tahun 2012 akupun menyelesaikan kuliahku dan menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Aku mengikuti wisuda beberapa bulan kemudian. Untuk kedua kalinya aku melihat kebahagiaan diwajah ibuku yang melihat aku memakai toga. Tiga bulan kemudian aku dipanggil oleh salah satu sekolah untuk menjadi tenaga honorer karena kebetulan saat itu sekolah tersebut kekurangan tenaga pendidik. Karena gaji honor sangat sedikit, saya memutuskan untuk membuka kursus untuk anak-anak di rumah. Aku mengajar anak tingkat SD, kelas pertama terdiri dari 8 siswa dan salah satunya adalah anak paman yang menghina kami beberapa tahun yang lalu. Sejenak aku termenung dan mengingat semuanya, saat itu aku percaya bahwa ucapan adalah doa. Kalimat yang aku ucapkan beberapa tahun lalu adalah doa yang saat ini di kabulkan oleh TUHAN. Aku benar-benar mengajar anak pamanku itu.

Tahun 2014 adikku di wisuda juga dan mendapat gelar Sarjana Ekonomi. Saat itu ibu sangat bahagia karena adikku adalah anak bungsu dan pastinya beliau tidak harus banting tulang lagi untuk menyekolahkan anaknya. Impianya untuk menyekolahkan semua anaknya telah terwujud walaupun harus jatuh bangun dengan segala cobaan. Sekarang adikku bekerja di salah satu Perusahaan Batu Bara di Kalimantan.

Sekarang orang-orang tidak lagi memandang kami rendah, saya sempat mengikuti suatu kegiatan dan pada saat itu kepala desaku mengatakan bahwa dia sangat terinspirasi dengan ibuku. Seorang ibu yang memiliki keterbatasan yang berhasil menyekolahkan semua anaknya. Aku sangat bangga memiliki ibu yang sangat hebat,walau di mata orang lain ibuku adalah seorang tunarungu tapi bagiku ibuku adalah wanita yang sangat sempurna. Beliau adalah ibu yang bisa jadi panutan, ibu yang sangat cantik, baik dan sangat religious. Aku bahagia memilikinya dan jika boleh meminta, aku ingin ibuku yang sekarang tetap menjadi ibuku pada kehidupan yang berikutnya. YOU’RE MY EVERYTHING….. I LOVE YOU MOM….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun