Awalnya saya membaca sebuah postingan di Kompasiana dari Thamrin Dahlan yang berjudul “B.J. Habibie Menanda Tangani Surat Keputusan Pensiun Prabowo Subianto”, terus terang opinitersebut hampir membuat saya ragu atas kebenaran issu pelanggaran HAM yang menerpa mantan Komandan Kopassus Prabowo Subianto, imajinasi ini langsung berkembang jangan-jangan ini hanyalah permainan dari Jendral Wiranto yang sebenarnya dialah pelaku utama penculikan aktifis dan huru-hara mei 98. Persoalan menjadi lebih terang kembali dengan munculnya tulisan dari kompasianer Joko Layo yang berjudul : “Beredar Surat Rekomendasi Pemecatan Prabowo” yang menulis tentang surat rekomendasi DKP (Dewan Kehormatan Perwira) kepada Panglima ABRI untuk memberhentikan Let. Jend. Prabowo Subianto. Kebenaran opini mengenai surat pemecatan tersebut telah mendapatkan konfirmasi dari media massa, bahwa surat tersebut memang benar adanya. Konfirmasi tersebut berasal dari Jendral (purn) Agum Gumelar dan Jendral (purn) Fahrul Rozi keduanya adalah penanda tangan surat rekomendasi DKP tersebut. Pada surat tersebut terdapat pula nama Let. Jend SBY, yang sekarang adalah presiden kita. Sekarang saya baru bisa memahami, mengapa SBY bersikap netral pada pemilihan presiden sekarang ini. Menurut analisa saya, kemungkinan pada satu sisi SBY tidak mungkin mendukung capres yang pernah direkomendasikannya untuk dipecat, disisi lain SBY saya yakin lebih memilih Jokowi, tetapi apa daya hubungannya dengan Megawati kurang harmonis. wawancara metro TV dengan Agum Gumelar, pada hari Selasa 10 Juni 2014 pukul 19.00 mengupas lebih jauh tentang kebenaran surat rekomendasi DKP tersebut. Wawancara itu semakin mengukuhkan keyakinan saya bahwa Prabowo memang telah melanggar HAM. Rupanya tidak hanya pelanggaran HAM saja yang telah dilakukan oleh mantan Komandan Kopassus ini, tetapi juga pelanggaran disiplin militer lainnya, seperti meninggalkan tugas (pergi ke luar negeri) tanpa melapor (meminta ijin) atasannya. Butir-butir alasan pemecatan tersebut tertera dengan jelas pada tulisan saudara Joko Layo, yang disertai dengan gambar (foto) surat rekomendasi pemecatan Let. Jendral Prabowo Subianto. Menurut Agum Gumelar rekomendasi pemecatan DKP terhadap Prabowo bukanlah pemberhentian dengan hormat sebagaimana SK yang ditanda tangani oleh BJ Habibie, tetapi surat rekomendasi pemberhentian dengan tidak hormat, mengingat kesalahan-kesalahan yang dilakukannya tidak dapat ditolerir lagi. Bahkan Komandan POM ABRI ketika itu May Jend. Syamsul Djalal, telah melakukan penyelidikan dan merekomendasikan untuk membawa Prabowo ke Mahkamah Militer untuk diadili. Sayangnya menurut Agum, "suasana kebatinan petinggi ABRI dan Presiden Habibie ketika itu, masih sungkan dengan Suharto mengingat Prabowo adalah menantu Suharto". Berkat Suharto sebagai mertuanyalah Prabowo dapat perlakuan istimewa, sehingga pada suatu kesempatan Prabowo pernah naik pangkat sampai tiga kali dalam kurun waktu satu tahun saja. Jadi dapat dimengerti kalau Presiden BJ. Habibie mengeluarkan SK pemberhentian dengan hormat, bukan pemberhentian dengan tidak hormat. Kalau saja Prabowo dapat memahami bagaimana “baik hatinya” petinggi ABRI dan Presiden ketika itu, sehingga dia lolos dari jerat Mahkamah Militer, semestinya dia berucap syukur dan mengisi waktunya dengan baik untuk merenung dan membenahi hidupnya kembali. Sayangnya Pak Prabowo sungguh tidak tahu diri, malah maju sebagai calon Presiden RI layaknya orang yang tidak mempunyai dosa dalam tugas negara yang pernah diembannya. Kejadian seperti ini dapat saya analogikan, ketika seorang karyawan yang telah dipecat oleh perusahaan karena melakukan tindak pidana terhadap perusahaan tempat dimana dia bekerja, tiba-tiba dia datang untuk melamar menjadi Direktur perusahaan itu. Pak tahu dirilah ... !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H