"Moodku gampang banget berubah. Kayaknya aku bipolar deh."
"Aku depresi abis diputusin pacarku."
Seberapa sering anda mendengar kalimat semacam itu? Ternyata mudah mengatakan bahwa diri sendiri memiliki gangguan mental merupakan hal yang berbahaya.
Ketika seseorang merasa ada yang tidak beres dengan diri sendiri, dia akan segera mencari tahu melalui Google. Google mampu menyajikan banyak informasi dalam bentuk jurnal, artikel maupun video hanya dengan sekali "klik".
Berbekal informasi  tersebut membuat seseorang tanpa sadar "memaksakan" gejala-gejala gangguan mental yang tercantum dengan apa yang dirasakan.Â
Dia akan menyimpulkan diagnosis terhadap dirinya  karena merasa seolah-olah sangat mengetahui tentang gangguan mental tersebut. Tindakan itu disebut dengan self-diagnose.
Psychologytoday.com mempublikasikan bahaya lain dari self-diagnose adalah ketika seseorang itu "melebih-lebihkan" gejala yang dialami dibandingkan dengan apa yang sebenarnya dia rasakan.Â
Contohnya jika dia memiliki insomnia, kesulitan berkonsentrasi dan depresi. Dia akan yakin bahwa dia memiliki gangguan tidur, attention deficit disorder, dan depresi mayor.Â
Padahal depresi mayor dapat memiliki gejala-gejala tersebut. Singkatnya, dia membuat semua terasa lebih mengkhawatirkan.
Self-diagnose menjadi sangat berbahaya apabila penegakkan diagnosis dilakukan tanpa adanya keterlibatan psikolog atau psikiater. Selain itu, self-diagnose juga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis.
Alih-alih mendapatkan penanganan yang tepat oleh ahlinya, self-diagnose hanya dapat menimbulkan kepanikan. Oleh karena itu lebih baik menemui psikolog atau psikiater ketika merasa ada yang "salah" dengan diri anda.