Lahir di tengah kemiskinan, memang bukan keinginanku. Itu adalah takdir yang harus aku jalani, meskipun kemiskinan terasa terlalu kuat menjerat setiap impian yang dimiliki keluargaku, Bapakku, Ibukku, dan Kakakku.
Aku masih ingat perkataan Ibukku terhadapku malam itu bahkan masih tergambar dengan jelas, “Nduk, masio Bapak ambek Ibukmu gak iso sekolah, terus mbakmu iso sekolah sampek SMP thok, awakmu kudu iso sekolah dukur. Ojok sampek awakmu dadi koyok Bapak, Ibukmu, ambek Mbakmu”
Ya, kemiskinan akhirnya menggantung impian mereka untuk bisa sekolah. Bapakku, harus berhenti sekolah SD karena harus bekerja untuk menghidupi keluarga dan adik-adiknya. Begitu juga dengan Ibukku. Akhirnya, merembet ke kakakku, yang harus 'membungkam' impiannya untuk bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMA, karena kondisi keuangan keluarga yang tidak memungkinkan.
Semua impian mereka terakumulasi dalam hidupku. Tetapi, ketika kemiskinan berbicara, akankah aku menjadi korban selanjutnya? Pertanyaan itu selalu terngiang dalam setiap langkahku ketika aku kelas 6 SD.
“Nduk, belajaro sing patheng. Dadi anak sing pinter, ben isok melbu SMP Pasirian. Masio wong melarat, tapi anakku kudu dadi wong sukses, sekolah ndek sekolah favorit, koyok mbakmu”
Perkataan ibukku adalah sebuah kekuatan bagiku. Aku pun belajar keras agar bisa masuk SMP Favorit di daerahku. Tidur jam 9 malam dan harus bangun jam 2 malam untuk tahajud dan belajar. Ya, ibuku selalu menemaniku belajar, meskipun tidak bisa membantuku belajar, karena beliau buta huruf, sebab tidak bisa bersekolah. Sedangkan, Bapakku tiap malam harus jaga irigasi di sawah. Semacam Polisi Perairan di desa.
Belajar di waktu pagi hari memang waktu yang paling baik, ibuku mengerti itu. Hingga akhirnya bisa menjadi Peringkat 2 nilai UN terbaik se-kecamatan. Kepala Sekolahku sampai nangis dan berusaha membantu biaya pendaftaranku untuk masuk SMP Pasirian itu. Berkat bantuan tersebut, akupun berhasil masuk SMPN 1 Pasirian, SMP yang terkenal dengan lulusannya yang sukses dan pintar-pintar.
*****
Konsekuensinya ketika masuk di sekolah favorit tersebut adalah biaya sekolah yang kelewat mahal pada jaman itu. Aku rasanya pengen keluar saja dari SMP itu, tapi ibukku selalu bilang bahwa uang bisa dicari, tapi yang penting aku bisa sekolah di SMP itu.