Mohon tunggu...
Nurma Larasati
Nurma Larasati Mohon Tunggu... -

Menyulap fakta, teka-teki dan kemanusiaan dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Ibu] Aku Hanya Enggan Membuatmu Khawatir Mama

22 Desember 2011   04:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:55 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mamaku tersayang,

Apa yang dikau sedang lakukan saat ini? Maaf anakmu ini sekarang tak ada di sampingmu. Anakmu, yang sudah pergi menginjak tanah lain untuk mencari ilmu ini, menangis merindukanmu Mama.

Hari ini hari yang spesial kan Mama? Aku masih teringat, semasa aku kecil, setiap kali kalender menunjukkan tanggal 22 Desember, pasti aku sedang sibuk membuat puisi tentang dirimu Mama. Kemudian aku akan menaruh puisi itu di atas meja kerjamu. Dan berharap Mama akan membacanya begitu Mama pulang dari toko. Aku biasanya bersembunyi entah di kamar atau di bawah meja makan. Malu. Tapi begitu Mama memanggilku, aku pasti keluar dari tempat persembunyian itu dan menghampirinya. Lalu ia memelukku, mengucap terima kasih. Sesekali Mama juga memintaku membacakan puisi itu. Dan di tahun-tahun ke depannya, begitu adik-adikku terlahir di dunia ini, giliran mereka lah yang membacakan puisi-puisi itu.

Puisi-puisi itu mungkin bukanlah yang terbaik di dunia ini, tapi setiap goresan yang kutulis di atas kertas itu sungguh murni Mama. Aku sayang, kagum, dan berterima kasih pada dirimu. Dikau adalah figur seorang wanita yang terus aku contoh.

Mama, beberapa minggu terakhir ini aku sakit cukup parah Ma. Setiap malam aku terserang demam. Perutku pun sakit sampai-sampai sulit berjalan. Sayangnya orang serumah pun jarang ada di rumah selagi aku sakit. Klinik pasti tutup. Dan rumah sakit pun jauh. Saat itu, aku enggan menelepon kawan untuk membawaku ke rumah sakit karena itu terlalu larut. Tapi pada dasarnya, aku terkadang meremehkan demam, seperti yang dikau ucap padaku dulu Mama.

Di masa aku sakit itu, aku merenung tentang dirimu Mama. Seandainya saja aku ada di rumah, Mama pasti di sampingku, merawatku, memastikan aku minum obat teratur, dan di malam harinya engkau akan solat Tahajjud dan mendoakan kesehatanku. Kau begitu khawatir, sampai-sampai aku menyesal kenapa aku bisa jatuh sakit.

Tapi di malam aku sakit disini, Mama, tak ada siapa-siapa di rumah.

Aku makan dan minum obat sendiri. Mengambil kompres sendiri. Tidur sendiri. Kamar pun terlalu dingin, jadinya aku tertidur di ruang tamu yang lebih hangat. Itu pertama kalinya aku merasa satu nasib dengan lagu “Angka Satu”-nya Caca Handika. Aku menangis saat itu Mama. Rasanya sangat tersiksa kalau tak ada siapapun di sampingku. Tapi aku enggan memberitahukan kalau aku sakit padamu Mama. Itu hanya akan membuatmu khawatir besar. Tanah yang kita pijak ini lain Mama; karena Mama maupun Ayah belum punya paspor, mustahil untuk kalian datang kesini. Karena itulah, daripada aku membuat kalian khawatir namun tak bisa berbuat apapun selain berdoa, lebih baik aku diam dan berusaha bangkit dari jatuh sendiri. Tapi… Mama… Rasanya… sakit…

Sekarang kondisiku mulai membaik Mama. Aku sudah pergi ke rumah sakit atas bantuan teman-temaku. Lusa pun aku sudah laporan kepadamu tentang apa yang terjadi. Aku sudah membaik, jadi Ayah ataupun Mama tak perlu khawatir apa-apa. Apa yang bisa dikhawatirkan dari masa lalu kan? Tapi kau memang lebih baik dari dokter di rumah sakit itu Mama. Aku didiagnosis dengan beberapa penyakit, bukan cuma demam. Akibatnya, harga obat melambung tinggi sekali. Namun begitu aku cerita apa penyakitku padamu, Mama langsung memberiku ilmu tentang teknik orang Jawa menyembuhkannya. Dikau pun memberi segala nasihat lain-lain. Itu semua membuat aku merasa geli Mama. Seharusnya, apa lebih baik aku cerita dari awal tentang apa yang aku rasakan?

Tapi, anakmu ini cuma enggan membuatmu khawatir. Karena itulah keputusan itu aku pilih. Dan aku tidak menyesal sudah memilih keputusan itu. Anakmu ini terlalu sayang padamu, Mama.

Aku akan turuti nasihatmu Mama. Semoga kondisiku akan terus membaik. Aku berharap Februari nanti, selagi aku mendapat waktu berlibur, aku bisa kembali ke rumah dengan senyum lebar Mama.

Tiada hari tanpa aku berterima kasih padamu, Mama.

Selamat Hari Ibu.

Anakmu yang amat menyayangimu,

Nurma.

22 Desember 2011.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju ke akun: Cinta Fiksi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun