Mohon tunggu...
Nurmala Fitri
Nurmala Fitri Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

A lecturer

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

(Chapter One) Dongeng

9 Maret 2015   23:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang putri duduk diam membisu memerhatikan ibunya, sang ratu, sedang sibuk memainkan penanya di atas sebuah kertas usang yang mengaurkan wewangian lavender. Si putri kecil hanya duduk mematung di balik pintu kamar utama sambil menepuk-nepuk boneka kuda poni berwarna ungu yang dimilikinya. Dia tidak mengerti mengapa sang ibu selalu berada di kamar akhir-akhir ini dan tidak pernah lagi mau bermain bersamanya.
“Apakah karena aku menyebalkan?” tanya si putri kecil pada kuda poni miliknya.
Namun tentu saja si kuda poni hanya diam dan tak menjawab pertanyaan lugu si putri kecil.
Si putri kecil masih duduk di sana hingga sang ibu selesai menulis surat yang entah dituju pada siapa. Sang ratu memergoki putri kecilnya yang sedang bermonolog dengan boneka kesayangannya, si kuda poni.
“Hai sayang. Apa yang sedang kau lakukan di sana?” tanya sang ratu sambil membelai pelan rambut putri kecilnya.
“Hanya duduk saja, ibunda. Apa yang tadi ibunda tuliskan di kertas itu? Mengapa sepertinya sangat menyenangkan menulis, ibunda?” tanya si putri kecil penasaran.
“Menyenangkan? Mengapa kau bertanya seperti itu, sayang?” tanya sang ratu sambil menarik lembut lengan sang putri untuk diajak ke dalam kamar.
“Iya. Ibunda tadi menulis sambil tersenyum-senyum. Apa yang ibunda tuliskan di sana? Bolehkah aku membacanya ibunda?” cecar si putri kecil.
Sang ratu tersentak dan sedikit gugup sebelum akhirnya menjawab, “Tidak sayang. Ini hanya pesan yang akan ibunda sampaikan pada teman ibunda di negeri seberang. Kau tidak akan mengerti,” jawab sang ratu lembut sambil menyelipkan surat miliknya ke dalam kantung gaunnya.
“Kalau begitu maukah ibunda bermain bersamaku? Sejak tadi pagi aku tidak bisa bertemu dengan ibunda karena ibunda selalu asik menulis pesan-pesan itu,” ajak si putri kecil memelas.
“Baiklah. Ayo kita bermain. Apa yang mau kau mainkan sayang?” tanya sang ratu sambil bangkit berdiri dan menuntun si putri kecil ke taman bunga yang berada di tengah bangunan kerajaan. Taman bunga tersebut tidak hanya dihiasi oleh berbagai tanaman bunga, namun juga tanaman obat-obatan yang selalu digunakan sebagai ramuan kesehatan untuk keluarga kerajaan. Selain itu, di tengahnya terdapat air mancur berbentuk singa, sang raja hutan. Tidak heran karena singa merupakan lambang kebanggaan kerajaan mereka. Singa merupakan hewan paling tangguh di hutan belantara hingga dijuluki sang raja hutan. Hewan lainnya akan tunduk pada auman sang singa, begitu pula dengan kerajaan mereka. Seluruh rakyat yang berada di bawah kuasa raja akan tunduk pada titahnya.
Sang ratu dan si putri kecil terus bermain hingga lupa bahwa matahari telah terbenam di ufuk barat. Sang raja menghampiri mereka berdua yang sedang duduk sambil tertawa-tawa di bangku taman indah yang berwarna putih keemasan. Di depan mereka terdapat meja bulat yang di atasnya terdapat berbagai kudapan lezat dan minuman hangat.

“Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya raja lalu mencium sang ratu, kemudian menggendong si putri kecil kesayangannya. Si putri kecil hanya tertawa-tawa di pelukan ayah kesayangannya.

“Kami sedang membicarakan mengapa seorang putri kecil kesayangan seluruh rakyat kerajaan masih mengompol, Kakanda,” jawab sang ratu sambil menggelitiki putri kesayangannya.

“Ibundaaa,” si putri kecil tertawa kegelian dan memeluk erat leher sang raja.

Mendengar itu sang raja hanya tertawa sambil melindungi putri kecilnya dari serangan jahil istrinya.
Bukankah kalian menganggap keluarga mereka adalah keluarga yang bahagia? Saranku, simpan jawaban kalian hingga ke chapter selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun