Lisa, seorang anak berusia 9 tahun yang bermata cerah, duduk di mejanya, menatap kosong ke lembar kerja matematika di depannya. Teman-teman sekelasnya dengan mudah memecahkan masalah, tetapi pikiran Lisa menjadi kosong setiap kali dia mencoba untuk fokus. Dia merasa seperti dia adalah satu-satunya yang berjuang, dan itu membuatnya frustrasi tanpa akhir.
"Huuuh, kapan ya aku dapat nilai yang bagus?." Gumam Lisa dalam hati.
Dia adalah anak sekolah biasa yang tidak pandai dan belajar merupakan suatu hal yang tidak mudah baginya. Setiap hari, dia berjalan menuju ke sekolah, merasakan beban perjuangannya dalam belajar sangat berat di setiap langkah kakinya. Kesulitan Lisa bukan karena kurang berusaha. Dia menghabiskan berjam-jam menghafalkan rumus Matematika. Namun terlepas dari usahanya, rumus-rumus itu tampak menari di halaman, angka-angka kabur bersama, dan konsep yang tetap sulit dipahami. Frustrasi menjadi temannya yang tidak ia sukai.
Di rumah, ibu Lisa, Jenni, memperhatikan ketegangan yang terlihat di wajah putrinya. Dia bisa melihat potensinya, keingintahuannya, dan tekadnya, tetapi ada sesuatu yang menahannya. Bertekad untuk membantu, dia memulai misi untuk membantu Lisa. Jenni mencoba untuk mendekati Lisa.
"Anakku Lisa, ada apa kok cemberut terus", tanya Jenni kepada Lisa sambil mengelus rambut Lisa.
"Hmm, maaf ya Bu", Lisa memperlihatkan nilai matematikanya.
"Gapapa, yauda sini ibu bantu", jawab Jenni.Â
Berbekal pengetahuan dan empati, dia mulai menyesuaikan pengalaman belajar Lisa agar sesuai dengan kebutuhannya. Pertama, dia menciptakan lingkungan yang nyaman untuk belajar. Dia mendorong Lisa untuk mengungkapkan rasa frustrasinya dan meyakinkannya bahwa tidak apa-apa untuk tidak dapat menghafal rumus-rumus.Â
Selanjutnya, Jenni memanfaatkan barang disekitar kemudian menghubungkan ke dalam studinya. Lisa menyukai dinosaurus, maka Jenni akan mengeksplorasi matematika dengan mengukur jejak kaki dinosaurus. Konsep belajar yang dulu tampak abstrak sekarang terbentuk nyata, membuatnya lebih mudah dipahami oleh Lisa. Jenni sangat gembira melihat kepercayaan diri putrinya tumbuh. Dia menyadari bahwa kadang-kadang, yang dibutuhkan hanyalah sedikit dukungan dan pengertian ekstra untuk membantu seorang anak mengatasi perjuangan mereka. Lisa tidak lagi melihat dirinya sebagai seorang siswa yang kesulitan saat belajar tetapi sebagai seorang penjelajah yang memulai perjalanan penemuan yang mengasyikkan.
Nilai Lisa menjadi meningkat. Dia tidak lagi merasa melihat sebuah gunung untuk didaki tetapi sebagai serangkaian bukit untuk ditaklukkan, masing-masing membawanya lebih dekat ke mimpinya. Lisa berterima kasih atas campur tangan ibunya, dan dia tahu bahwa dia selalu dapat mengandalkannya untuk berada di sana untuknya, apa pun tantangan yang dia hadapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H