Ssshhhtttt...!! Hati-hati menjaga Rahasia.
Pagi yang cerah nan sejuk menyelimuti kota malang, rasanya masih malas untuk berangkat menuju kampus hijau tercinta, tetapi semangat untuk mendapatkan informasi baru menggugah saya untuk berangkat menuju kampus nan asri tersebut. Kelaspun dimulai pukul 07.30 WIB sinar matahari pagi yang cukup terik juga ikut serta memasuki ruangan perkuliahan. Satu persatu teman-teman yang mendapatkan giliran presentasi, maju untuk melakukan presentasi, “Kode Etik dalam Psikologi” tema yang di bahas pada perkuliahan hari ini. di dalam otak ini penuh pikiran-pikiran mengenai hal tersebut. Tetapi satu-satu telah dibahas pada presentasi kali ini.
Salah satu masalah yang secara tajam mencuat dalam lingkup kegiatan psikologi di Indonesia, adalah masalah etika. Hal ini tampak dengan banyaknya permasalahn yang tidak jelas dalam pelanggaran kode etik psikologi yang sementara ini masih belum secara resmi ditangani. Dengan perkataan lain, rumornya cukup santer, tetapi masih dianggap belum perlu diangkat ke forum resmi. Menurut Prof. Dr. Sutardjo A. Wirahimardja, Psi Beliau mengatakan di dalam bukunya, Etika adalah masalah aksiologi dalam lingkup filsafat, ialah bagian filsafat yang membicarakan masalah perilaku manusia dilihat dari sudut pandang baik dan jahat. Penerapan psikologi etika menyangkut banyak hal diantaranya yakni: etika terhadap ilmu, etika terhadap alat tes, dan etika terhadap klien yang menyangkut teknit terapi, pembuatan laporan, dan yang pasti kerahasiaan. Berbarengan dengan adanya etika munculah kode etik yakni tatacara yang seharusnya diikuti dan ditaati oleh seluruh psikolog.
Sederhananya saja, salah satu teman saya tadi ada yang bercerita mengenai pengalamannya seputar kerahasiaanya. Dia mempunyai adik, adiknya ini sangat percaya dengan kakaknya yakni teman saya tadi, nah adiknya ini tidak pernah bercerita dengan kakak-kakaknya yang lain kecuali dengan teman saya, seluruh curhatan baik itu senang, sedih, baik, buruk di ceritakan. Hingga pada suatu hari teman saya tadi Ember bocor alias keceplosan bilang ke ibunya kalau adiknya lagi dekat dengan seseorang. Alhasil adiknya terkena marah oleh ibunya dan teman saya pun ikut terkena imbasnya yakni dia tidak lagi dipercaya adiknya dan berjauhan. Dari kejadian itu penting sekali untuk menjaga kerahasiaan dari seseorang yang mempercayai kita. Karena posisi psikolog juga seperti itu psikog diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan klien, ada saatnya rahasia itu harus di sembunyikan dan ada kalanya kerahasian itu diungkapkan. Seperti halnya beberapa psikolog juga terkadang mengalami kesulitan dalam menetukan atau mengungkap kebenaran dari beberapa kasus, sebuah kasus bila seorang masih berlabel terdakwah, tersangka, dan terduga. Memiliki asas praduga tak bersalah, dimana kebenaran atau membela diri mash ada tidak mutlak salah.
Nah,, untuk kode etik sendiri telah diatur dalam paparan Internasional sebagaimana di jelaskan pada prinsip-prinsip yang diajukan oleh American Psychological Association (APA) yang meliputi sembilan pokok: 1) mengenai tanggung jawab, 2) mengenai kompetensi, 3) mengenai standar moral dan hukum, 4) mengenai pernyataan publik, 5) mengenai konfidensialitas, 6) mengenai kesejahteraan pengguna, 7) mengenai relasi profesional, 8) mengenai penggunaan teknik-teknik asesmen, 9) mengenai pencarian dalam aktivitas riset. Tidak kalah dengan APA, di Indonesia pun memiliki kode etik sendiri yang di buat oleh HIMPSI (Himpunan Psikolog Indonesia) yang diresmikan kongresnya pada tahun 2010 di Solo. Yang terdiri atas delapan puluh pasal yang mengatur. Mulai dari pengertian, hal-hal isu, kompetensi, hukuman dan perlindungan, intervensi, laporan, sampai penutup, pasal-pasal tersebut dapat di baca sendiri di dalam buku “PENGANTAR PSIKOLOGI KLINIS- Edisi ketiga” karya Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi.
Setelah mengatahui kode etik, maka psikolog akan lebih leluasa dan memiliki batas-batas dalam bersikap. Baik bersikap dengan klien, ilmu, maupun dengan fenomena-fenomena kasus yang terjadi di Negara ini yang pasti membutuhkan peran psikolog di dalamnya. Seperti kasus JIS (Jakarta Internatioanal School) yang sedang happening dan melibatkan banyak sekali psikolog di dalamnya. Selain kasus tersebut masih banyak lagi kasus-kasus yang membutuhkan peran psikolog sungguhan didalamnya. Tidak hanya psikolog yang memiliki paras wajah yang cantik atau tampan saja, tetapi ketepatan dan kejelasan memaparkan bukti atau fakta peristiwa dengan teori.
Nah,, teman-teman pembaca, sekilas tentang pengetahuan yang saya tangkap untuk hari ini.. mohon untuk kritik dan saran yang membangun serta solutif. Untuk kemajuan tulisan saya. Terimakasih telah membaca, see u next time ...
Wassalam ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H