“Intervensi Spiritual Ala~ Psikolog”
This is it, Spiritual, seketika mendengarkan kata ini tidak asing lagi, apalagi kata spiritual sangat akrab di telinga mahasiswa-mahasiswi UIN Maliki malang tentunya. karena kata tersebut merupakan salah satu Misi UIN Maliki Malang yang berbunyi “Mengantarkan mahasiswa memiliki kedalaman spiritual, keluhuran, akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional. Tentunya diharapkan seluruh Mahasiswanya mampu mewujudkan Misi Universitas tercinta ini. Amin.
Bahkan, di dalam dunia psikologipun juga mengenal Spiritual sebagai salah satu metode Intervensi psikologi.
Di masa kini, sejalan dengan perkembangan pemikiran filsafati, khususnya tetntang manusia sebagaimana kita ketahui dengan nama post-modernism atau pasca moderisme, psikologi secara umum bergeser dari apa yang disebut dengan ilmiah ke sifat lain –katakanlah psikologi pasca moderisme sebagaimana dikemukakan oleh Wittgenstein. Situasi ini juga sejalan dengan makin kuatnya pengaruh diyakininya pemikiran yang berpengaruh terhadap perilaku. Sebagai contoh, terapi yang pada awalnya berupa terapi perilaku, sekarang bergeser ke arah terapi kognitif perilaku (cognitive-behavioral therapy).
Seperti yang di jelaskan di bukunya Bpk. Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi. Sebenarnya bukan hal yang baru, dimasa lalupun telah ada apa yang disebut terapi pastoral, ialah terapi yang dilakukan parfa pastor, pendeta, khususnya dilingkungan komunitas katholik. Juga dalam komunitas islam, dikenal pemberian terapi berdasarkan agama yang dilakukan oleh para ajengan atau kyai dan tokoh agama lainya. Namun hal itu dekenal sebagai peninggalan Abad Tengah, yang secara filsafati ditandai oleh pemikiran keagamaan, ialah teologi kristiani. Abad tersebut justru berubah menjadi abad ilmu pengetahuan, yang kemudian dikenal dengan nama abad modern.
Sebagian psikolog memasuki abad modern dengan menjadikan dirinya sebagai ilmu pengetahuan, science, khususnya dengan didirikannya laboratorium psikologi yang pertama oleh Wilhelm Wundt yang semula adalah ahli ilmu faal. Yang paling menonjol, adalah munculnya aliran keperilakuan (behaviorism), khususnya sebagaimana dikemukakan Watson. Namun tidak semua ahli psikologi dengan sepenuh hati menjadikan pengetahuan psikologinya sebagai ilmu pengetahuan (science, ilmu empirik). Psikoanalisis, misalnya, lebih banyak menjadikan pemikiran rasional, kadang-kadang juga intuisi dan sensitivitas, sebagai pegangan penerapannya.
Muncul dan berkembangnya pemikiran pasca-modern mendorong lahirnya psikologi yang tidak termasuk pada ilmu pengetahuan (science), ialah yang bersifat kultural, religius, filosofis. Saat ini situasi itu sudah tampak menggejala. Misalnya terapi Sholat Tahajud (Sholeh, 2007) yang dapat meningkatkan imunitas seseorang, sehingga memiliki daya tahan fisik dan psikis yang kuat. Setelah gagasan transpersonalisme dari Maslow (1983) muncul pemikiran penulis mengenai spiritualisme, sejalan juga dengan munculnya spiritual Intelligence dari Marshall dan Johar (2002). Psikologi psiritual dapat diartikan sebagai psikolog yang meyakini bahwa yang paling menentukan perilaku dan latar belakang mentalnya adalah spiritualitasnya. Adapun yang disebut dengan spiritualitas, adalah kekuatan-kekuatan yang bersangkutan dengan nilai (value) dan makna (meaning). Nilai sesuatu dan makna apa yang terdapat dalam suatu situasi, itu merupakan dorongan utama yang melahirkan suatu perilaku.
Dapat dilihat dari berbagai pemikiran, bahwa gangguan kejiwaan timbul dari kacaunya nilai dan makna yang dimiliki penderita mengenai kehidupannya. Bisa jadi makna kehidupannya kosong. Terapi dalam hal ini dilakukan dengan membangun makna kehidupan yang positif pada penderita. Pendekatannya bisa agama, bisa filsafat, budaya, dan lain-lain.
Kalau kita renungkan, terapi semacam ini telah ada dan menjadi ciri dari psikolog orang timur. Namun sementara orang timur bersibuk diri dengan mengejar keterbelakangan berilmunya dari orang-orang barat, orang barat justru mengambil ilmu dari timur. Bisa jadi, suatu saat, orang timur harus belajar dari orang barat mengenai psikologinya sendiri yang diam-diam telah dimiliki orang barat. Sama dengan keadaan, bahwa belajar bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda, harus ke Leiden. Ini perlu direnungkan, karena konon pengobatan tusuk jarum dari China dan Korea, laboratorium utamanya saat ini ada di Eropa. Mudah-mudahan melalui berkembangnya, indiginous psychology yang berkembang pada dasa warsa terakhir abad yang lalu, orang timur tidak akan kehilangan ilmunya dan harus “membelinya” dari orang Barat yang telah mengembangkannya, meskipun istilah indigenous ini terlalu bersifat “kolonialistis”.
Sejarah banyak mencatat kejadian-kejadian penting seperti di Yerussalem merupakan hal-hal yang salah satunya dilatarbelakangi oleh aspek spiritualitas. Sedangkan spiritual antar semua agama terdapat persamaan yakni dimana spiritualitas itu di gunakan untuk mengamati dan memahami sesama manusia dan alam. Tetapi spiritual yang bersifat “Transenden” dimana hal ini sudah tidak dapat lagi di utak-atik atau dirubah karena sudah mutlak. Hanya berlaku untuk agama masing-masing, tidak lagi secara global.
Nah, kawan semakin semangat kaan J terimakasih telah membaca Artikel Ini. Bila Ada Kritik dan Saran Dipersilahkan. Termakasih_Wassalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H