Setelah ketetapan telah menemui waktu, kupikir jalannya akan lebih mudah berlalu. Tanpa lubang kecil yang membuat kaki terkilir. Tanpa gangguan berarti yang memaksa diri menyingkir. Ternyata, itu hanya sebatas angan kosongku saja. Sebab, faktanya, ada bumbu-bumbu sendu yang tiba-tiba menghiasi jeda tunggu.
Di antaranya, ada ragu yang terus terpacu. Tanpa sebab yang jelas. Pun, tanpa alasan yang pantas. Ia tanpa disangka bergelayut manja pada hati yang dilanda dilema. Menggoda diri untuk segera berlari. Meninggalkan kepastian yang telah mengisi. Menanggalkan sebuah ikatan yang jelas-jelas sudah terpatri.
Ah, betapa memalukannya.
Sang penggoda berpikir hati ini batu, yang bisa dengan mudahnya dilempar kesana-kemari. Dijatuhkan dengan dahsyatnya. Dimusnahkan dengan sangarnya. Tidak tahukah ia bahwa satuan rasa yang telah menggumpal dan melekat dalam diri akan sangat susah dihancurkan? Apa lagi, sampai tega dilenyapkan begitu saja.Â
Yang benar saja. Tidak segampang itu. Namun, mampukah? Membuat goyah yang telah sekian lama belajar pasrah. Membuat lengah yang cukup kuat ditempa dalam lelah.Â
Kalau bisa, coba saja!
Banyak cerita memang begitu. Ada beragam bumbu sebagai penguat tunggu. Ada pula ia yang berperan memperkeruh laku.
Kuatkah ia menjaga? Rapuhkah ia melawan dilema?
Itulah opsi yang menjadi bahan pertimbangan untuk membuat kepastian. Dalam hal ini, pilihan bijak harus diutamakan, agar sesal tak turut serta ambil bagian.
Begitulah.