Setelah temu yang mengharu biru, perjalanan panjang masih saja terkendala waktu. Lalu, kutetapkan hati untuk terus berjuang dalam bait tunggu yang tak tentu. Entah sampai kapan itu, aku pun masih belum tahu. Hanya saja, hati ini selalu percaya bahwa kamu ... seseorang yang begitu ingin aku tuju.
Semenjak keyakinan terpatri dalam kalbu kala itu, ragu perlahan luruh dalam satu waktu. Tak ada lagi guna-guna masa lalu yang menjadi candu. Tak ada lagi cemas yang mengganggu. Kini, yang tersisa hanyalah rentang temu yang selalu mengisi baris rindu.
Suatu hari nanti, aku sangat berharap, seberapa jauh jarak yang memaksa lekat, pastikan ia tak menjadi perusak berat akan komitmen yanng telah menjadi sepakat. Jangan sampai ia muncul sebagai alasan khianat. Apalagi hingga membuat kita sekarat. Mengancam kokohnya rindu, atau meredam luapan rasa yang menggebu.
Sungguh, aku tidak mau. Aku benar-benar tidak lagi punya tenaga untuk meladeni insan baru. Beradaptasi dengan orang lain setelah kamu bakal menjadi episode yang lumayan berat. Menguras energi yang teramat hebat. Maka dari itu, jangan pergi, ya! Aku mohon dengan sangat.
Tak peduli sebanyak apa tamu yang menyusup ke dasar hati ke depannya, pastikan ia segera angkat kaki. Sebelum semuanya telanjur hilang kendali. Sebelum segalanya merusak pertahanan diri.
Kamu bisa, kan, Sayang?
Bukannya sombong. Semua itu hanya untuk menghindari sebab-musabab kesilapan. Karena bisa jadi ia bermaksud menghalangi niat suci yang mewarnai diri. Jangan sampai kita rugi. Sudah berbaik hati, malah kita ditusuk hingga mati.
Bukan hendak berpraduga. Hanya saja, rasa khawatirku tiba-tiba menggila. Jika itu tentang kamu. Takut kehilangan. Takut dikecewakan. Takut dihancurkan.
Lagi.Â
Entah sebab apa, tak sengaja gumpalan rasa berkecamuk di dada. Maka dari itu, cobalah mengerti.