Setelah sekian lama, ingin rasanya seluruhku percaya atas segalamu; semua yang ada pada dirimu, pada segenap tuturmu, juga sikapmu.Â
Namun, gamang kerap kali bertamu. Ada juga ragu yang masih setia bergelayut manja di sela gentingnya waktu. Entah karena rasa takutku membumbung karena tak ingin kehilanganmu, atau mungkin percayamu yang belum sempurna berujung, sehingga membuat raguku menggunung.
Tak jarang prasangka hadir mengusik rasaku, menimbulkan resah pada segala lakuku. Hati sering bertanya tentang banyak hal.
Mungkinkah ini efek rindu yang membiru? Mungkinkah ini alasan inginnya temu yang memburu? Atau mungkinkah karena bayangan masa lalu yang sukar terhempas begitu, hingga ragu enggan menutup pintu?
Terkadang aku pun malu sendiri, perihal percayamu terhadapku yang begitu meninggi, ku balas dengan pradugaku yang tak tahu diri. Harusnya aku percaya saja padamu, bukan? Sebab meragu bukan menjadi bumbu yang paling ditunggu; ia mampu menggerogoti segenap rasa yang semestinya kian menderu.
Ragu itu bak duri, yang bisa menusuk tanpa aba-aba terlebih dahulu. Maka dari itu, kehati-hatian dalam bersikap itu sangat perlu.Â
Biar tidak salah langkah. Biar tidak salah kaprah.
Dari segi manapun ragu memang tak sepantasnya menjadi teman berjuang. Segenap rasa yang tak beralasan semacam itu seharusnya dengan segera dimusnahkan. Agar rasa indah yang menggema mampu mendapatkan tempat dengan nyaman.
Karena hakikatnya, tanpa ragu yang membuncah, segenap cinta pun mudah meranah, bukannya duka yang sering singgah, menjadi pengganti rona cerah yang kerap berpindah.
Meski sulit, semoga perasaan ragu tak lagi dilanggengkan.