Aku tak ingin lagi berbicara menyoal diri yang selalu saja kalah oleh keadaan. Tidak juga tentang kebodohanku berperang atas kemunafikan. Aku hanya ingin berfokus pada niat hati yang sudah ku jalani. Aku hanya ingin memberanikan diri bahwa bahagia ini akan terbukti. Aku pun ingin meyakinkan diri bahwa rasa yang kucipta itu fakta, bukan khayalan semata.
Kali ini, aku tak ingin lagi berpangku pada penilaian orang tentangku, juga tentangmu. Kita yang sepenuhnya memahami perihal baik atau tidaknya langkah yang selama ini telah dijejaki. Bisa jadi, celotehan buruk tentang kita hanya akan memberi makna suram yang berujung fatal. Kalau salah bereaksi, kisah yang dijalani selama ini mungkin saja akan tampak buram, seolah-olah tak ada tujuan. Selain itu, isi kepala bakal berantakan.
Aku sempat berpikir, apa kita berdua ingin begini selamanya? Tentu saja tidak, bukan?
Memilih berasumsi gila tentang pendapat orang perihal kurang tepatnya laku kita sebelumnya bisa menjadi bumerang, yang malah akan menghancurkan.
Bukannya itu terbilang mengerikan?
Sungguh, aku yang telah berjuang dalam serah yang melimpah, hanya berharap kesediaanmu menemani langkah. Mendampingi kala susah meranah. Menopang kala resah dan gelisah menjadi pemicu gundah. Juga, merangkul pundak ketika aku tak kuat berdamai dengan lelah. Sampai akhirnya, tak ada yang mampu membuat kita menyerah, kecuali Tuhan Sang Perencana Arah.
Itulah harapanku.
Aku merasa, kalau aku terpaku pada liku yang mengganggu, mungkin saja kisah ini akan mudah berlalu. Lalu, kalau cercaan yang berkunjung tak kuabaikan begitu, tak akan mungkin pertahanan ini akan berujung.
Bukan itu mauku.Â
Aku hanya ingin engkau seutuhnya menjadi semogaku, teman setia pengiring jejakku. Maka dari itu, asaku, engkau tak enggan menyambutku menjadi bagianmu; yang akan senantiasa menemani setiap episode ceritamu.