Bagi sebagian orang, mungkin dicintai itu sebuah kebahagiaan. Menandakan bahwa dia menjadi seseorang yang begitu berarti dalam hidup insani. Akan tetapi, itu tidak denganku. Dicintai, namun harus berbagi; berbagi kasih dan bahagia. Itu sungguh menyiksa. Siksaan yang mendalam bagi sang pendamba cinta.
Serasa kacau semua rasa. Rasa yang telah ditanam begitu lama. Rasa yang kian tumbuh karena bumbu-bumbu penyedapnya. Entah apa? Tapi resah itu kian mendera. Begitu sesaknya menjadi bayangan. Kuakui, itu sungguh menguras jiwa.
Selama ini, aku belajar memaknai hadirmu yang masih saja abstrak. Mencoba mengilhami wujudmu meski dengan spasi yang bertubi-tubi. Namun, aku gagal. Ternyata, aku tak sepandai itu yang dengan sederhana mampu membaca rasamu.
Saat ini, hati tanpa segan berkata "bertahan". Namun, raga begitu kuatnya ingin melepaskan. Pergulatan dahsyat, serasa diiris belati yang begitu tajam. Anehnya, hati tetap memaksa memaafkan.
Sekarang, aku harus mulai tegas pada rasaku, juga hidupku. Bertahan atau pergi itu pilihan. Aku harus lebih bijak menyikapi.
Aku sadar, mungkin kamu berat memutuskan. Maka dari itu, untuk perkara ini, aku harus pegang kendali. Mungkin saatnya diri beranjak pergi. Seperti halnya mencintaimu yang tanpa alasan, aku memilih tak tetap tinggal itu juga tanpa alasan.
Bisakah?
Ku rasa berbicara itu memang mudah, namun nyatanya aku jelas-jelas tak kuasa melepaskan. Bukan tanpa sebab aku begini. Ini juga karena kuatmu bertahan, tak ingin begitu mudahnya merelakan. Akhirnya, aku kalah dengan keadaan. Lalu, ku putuskan bahwa menjauh itu bukan pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H