Dalam riuh yang sering bergemuruh. Di sela sendu yang kian menaruh angkuh, pada dia sang pemberi keluh. Kini, sosokmu perlahan mendekat erat. Memberi rona cerah pada hatiku yang sedikit membuncah lelah. Hampir menyerah. Aku kian gundah.
Kau tahu, tak sedikit pun celah yang ingin begitu mudahnya pasrah, karena nurani tak semudah itu berpindah. Bukan hati tak ingin memiliki lagi sosok inspirasi. Bukan juga tak ingin diri terhempas dari sepi.
Bukan.
Ini hanyalah tentang diri yang terasa sesak ingin terbebas dari kelu yang acapkali membuat pilu. Namun, ragu sering kali menjadi bumbu nomor satu. Jadi, ini adalah masalah waktu agar diri segera beranjak dari kelamnya masa lalu.
Menyoal rasa, wanita ternyata memang lemah dalam mongolahnya. Perihal nyaman yang kausuguhkan seakan membuat pertahanan hati melemah. Tanpa paksaan yang mendalam, ku ikuti alur ini. Kuterima hadirmu dengan senang hati, hingga naluri bergerak untuk mencoba mengenalmu lebih dalam lagi.
Tapi, ku tak ingin begitu saja kalah. Ku harus meyakinkan diri bahwa ini bukan sekadar permainan hati yang akan mudah saja patah. Perlahan tapi pasti, ku akan tahu niatan hati yang kau ingini. Tunggu saja. Semua akan segera terbukti.
Tak bisa dipungkiri, rasa nyaman ini kian merajai. Entah apa jadinya nanti, ku masih meraba dalam sunyi. Tak dapat ku bohongi diri bahwa hadirmu menjadi warna lain di hati. Menjadi pesona baru dalam hidup ini.
Aura yang kausuguhi begitu kuat, hingga mampu melebur sebagian jejak yang telah lama singgah. Bahagiaku pun melimpah. Bukan sekadar karena perjumpaan pertama denganmu yang kurasa begitu indah. Namun, ini mungkin ujar hati yang telah lama ingin kuolah.
Tak pernah kautahu bahwa aku telah mengenal sosokmu lebih dulu. Ku juga ingin membahagiakanmu sejak dulu. Semacam iba yang terurai karena kisah kelammu saat itu. Tak perlu kautanya mengapa kutahu tentang itu, karena sebenarnya, segalamu telah ku maknai dengan sempurna semenjak waktu itu.
Sungguh, hadirmu benar-benar memberi warna baru dalam hidupku.