Setiap orang memiliki cerita hidupnya masing-masing. Masalah yang dihadapi pun cukup beragam. Ada yang mudah. Hanya dengan menjentikkan jemari saja, mereka mampu memiliki apa saja yang disuka. Ada pula yang susah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja harus mengeluarkan kekuatan ekstra. Begitulah serba-serbi kehidupan yang kerap dijumpai di depan mata.
Bagi keluarga muda seperti kami, perjalanan yang dilalui lumayan menantang. Apalagi, di awal pernikahan, kerikil-kerikil tajam mengganggu tak berkesudahan. Rasa ingin menyerah sering bertandang. Selalu saja demikian. Jika bukan karena iman yang makin dikuatkan, mungkin mengumpat pada takdir adalah hal yang tidak terhindarkan.
Saat itu, suamiku hanyalah seorang tenaga pendidik di salah satu sekolah swasta yang berada di suatu marga yang jauh dari pusat kota. Tepatnya, di pinggiran kota Lampung Timur, Provinsi Lampung. Kecintaannya terhadap dunia pendidikan, membuatnya enggan beralih profesi. Meskipun, jika ditakar dari segi materi, yang didapat tidaklah masuk akal. Namun, ia begitu menikmati.
Disela-sela obrolan kami, aku pernah bertanya, "Apa nggak capek kayak gini terus?"
Maksudku, dengan tenaga dan pikiran yang dikeluarkan sedemikian rupa, harusnya ia dapat menerima hasil yang setimpal. Namun, yang ia dapatkan justru diluar dugaan. Jangankan untuk berbagi dengan sesama, untuk kebutuhan sehari-sehari saja harus memutar otak untuk mengaturnya. Agar nantinya tidak habis sebelum waktu gajian tiba..
Sudah kuduga, jawaban yang kuterima selalu seperti biasanya. Tak ada yang lain selain membalas dengan gelengan dan mempersembahkan senyum termanis bagai gula. Senyum yang selalu meracuni logika. Memabukkan. Eh.
"Berbagi itu tidak harus dengan materi, Sayang. Bagi orang yang serba pas seperti kita, sedekah ilmu juga bisa. Asal ikhlas, nikmatnya juga akan sama."
Kata-katamu itu sungguh menyentil gendang telinga. Selama ini kupikir, sedekah itu hanya seputar materi. Hal-hal sepenting itu tidak terjangkau oleh pikiranku yang dangkal ini. Aku malu. Ternyata, masih banyak ilmu tentang berbagi yang  harus digali.
Pernah suatu ketika, dana belanja tinggal satu lembar. Selembar di sini bukan yang berwarna merah dengan gambar Bung Karno dan Bung Hatta. Bukan. Itu terlalu indah. Lembaran yang kumaksud adalah berupa gambar salah satu pahlawan pada mata uang negeri tercinta ini, yaitu gambar Dr. K.H. Idham Chalid. Ya, benar; lima ribu rupiah. Yang mana, uang segitu harus bertahan hingga pemasukan tetap tiba. Tiga purnama. Jeda tunggunya memang segitu lamanya. Jika tidak sabar, maka musnah seluruh keseimbangan saat itu juga.
Belum sempat pikiranku berkelana, mencari cara menyiasati sekeping amunisi yang tersisa, ketukan pintu yang begitu nyaring, membuyarkan segenap khayal yang menghiasi kepala. Lalu, kubuka pintu dengan tergesa, sembari menebak siapa gerangan yang bertamu di pagi buta.Â