Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Satu Mililiter per Hari demi sang Buah Hati

18 Agustus 2023   06:53 Diperbarui: 18 Agustus 2023   06:58 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: gdakaska by pixabay

Di sampingku, seorang anak kecil masih tertidur dengan lelapnya. Kupandangi wajah polosnya, hingga tak kuasa bulir bening mengambang di mata. 

Rasa bersalah pada bocah kecil itu selalu terbayang di benak, kala kuingat kejadian menyesakkan sekitar lima tahun silam.

 Aku adalah ibu yang tidak sempurna.

Suara bising itu selalu berlari-lari di kepala. Ada sesak bergelayut manja di dada. Ada resah yang membayangi sukma.

Bukan tanpa alasan aku merasa tidak mampu menjadi seorang ibu seutuhnya. Sebab, pengalaman pertama menjadi seorang ibu penuh kendala. 

Ya, aku mengalami tantangan itu. Alumni Caesarian sekaligus air susunya tergolong seret.

Air Susu Ibu (ASI) adalah nutrisi penting bagi anak. Apalagi jika bisa memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan penuh tanpa adanya asupan pendamping lainnya. Bagi seorang ibu, itu sudah menjadi kebanggaan tersendiri. 

Namun, itu tidak berlaku bagiku. Aku gagal mempersembahkan gizi terbaik untuk anakku. ASI-ku mampet, tidak lancar seperti yang dialami para ibu baru kebanyakan. Hanya dengan memikirkan itu, rongga dada terasa akan pecah. Tangisku tak tertahan. Aku kalut. 

Ditambah dengan omongan-omongan pedas segelintir orang.

"Kalau orang zaman dulu, begitu anak lahir, ASI langsung deras."

Aku sungguh bukan pribadi yang diam saja ketika ada yang tidak beres dengan pasokan ASI yang kupunya. Beragam cara kuupayakan sedemikian rupa. Namun, tidak semua orang seberuntung itu. Aku salah satunya.

"Anak muda sekarang memang gitu, nggak mau menyusui. Takut payudaranya kendor kali."

Rasanya otakku mendidih ketika mendengarkan kata-kata itu. Bukannya memberi dukungan, orang-orang yang enggan kusebut namanya itu dengan tega menjatuhkan.

Kata orang---yang entah aku lupa siapa, memang benar, bahwa perundungan pada wanita yang paling utama itu dilakukan oleh kaumnya sendiri. 

Padahal, bagi seorang ibu seperti itu, yang air susunya seret, pikirannya harus selalu positif. Ia membutuhkan dukungan penuh dari orang-orang terdekat, bukan malah menjadi bahan pergunjingan.

Aku meyakini bahwa sebelum mengalami sendiri betapa susah payahnya mengusahakan ASI dengan kondisi mental yang amburadul, pasti akan berspekulasi macam-macam. Itu hal yang wajar. Maka dari itu, aku kerap berucap bahwa tidak semua orang memiliki keberuntungan itu, yang dengan gampang memproduksi ASI. Ada aneka faktor yang turut mewarnai. Sehingga, bagiku, selalu mendukung para ibu menyusui dengan cara tidak melontarkan kalimat negatif itu sangat perlu.

Sungguh, mengemban tugas baru sebagai seorang ibu saja sudah berat. Jika ditambah dengan beban mental yang menggunung, kestabilan jiwanya akan makin terkungkung. 

Setelah melalui pergulatan hati yang panjang, suamiku mengarahkan untuk menambah ASI booster. Untuk memancing agar produksi ASI meningkat. Aku pun mengiakan. Aku pasrah. Upaya apapun akan kulakukan.

Guna memenuhi kebutuhan gizi yang baik bagi sang ibu menyusui, setiap hari aku memakan sayuran hijau, seperti daun katuk, bayam, dan lembayung---yang katanya baik untuk peningkatan kecukupan ASI.

Selain itu, aku meminum kapsul dari ekstrak daun katuk, yang katanya mampu memperlancar ASI dengan baik. Hasilnya tetap nihil. Meskipun, beberapa tablet sudah kulahap dengan sempurna. 

Tak kehabisan akal, suamiku juga mengupayakan dengan alternatif lainnya. Cara tradisional pun dilakukan, mengikuti saran para tetua. Seduhan biji adas yang dicampur dengan aneka macam ramuan kuminum setiap pagi. Akan tetapi, tak ada yang berubah. Kuantitas ASI selalu segitu saja, tak jua bertambah.

Demi sang buah hati, aku tidak menyerah. Setiap saat ASI kuperah. Katanya, makin sering dipompa akan makin bagus produksinya. Meski hanya satu mililiter per hari pun tak mengapa. Asal ASI tetap masuk ke tubuh sang anak setiap harinya.

"A mililiter a day is enough."

Aku selalu meyakinkan diriku demikian. Agar rasa percaya diriku tidak tumbang. 

"Mungkin putingnya tidak bagus itu. Pakai saja alat bantu!"

Ada yang bilang seperti itu. Rasa sakit di hati begitu menancap. Label 'tak sempurna' pun kembali hinggap. Namun, aku tetap melakukan sesuai anjuran itu. 

Nipple shield telah dibeli. Namun, tak ada perkembangan yang pasti. Aku meraung sejadi-jadinya.

Aku gagal. Aku bukan ibu yang sempurna.

Ucapan itu tak henti menggema.

Kuambil pemompa ASI. Kuperas air susunya meski sudah tak ada isi. Rasanya ngilu, mungkin karena aku begitu memaksa. Suamiku pun langsung panik saat melihat kesakitanku. Ia bermaksud menenangkan, tetapi aku salah mengartikan. 

"Sudah, loh. Emang cuma segitu, mau gimana lagi? Mau dipaksa juga nggak bisa. Jadinya malah nyiksa."

Saat itu, aku marah. Aku merasa terhina. Aku yang lemah menjadi makin terluka. Bagiku, semua orang sama, tak ada satu pun yang membela.

Aku percaya bahwa suamiku bukan bermaksud seperti itu. Ia hanya ingin meyakinkan bahwa tak ada ASI pun tak apa, masih ada cara lain untuk memenuhi asupan anaknya. Tidak perlu terlalu menuntut. Sebab, hal itu malah akan menyakiti diri sendiri saja. 

Setelah emosiku berangsur padam, suamiku perlahan mendekat. Ia mendekap diriku dengan erat, sembari merapalkan berkali-kali maaf jika tanpa sengaja kata-kata yang diucap melukai. Kutatap raut mukanya sekilas, rasa bersalah terlihat dari gurat lelahnya. Setelah itu, aku bersikap lebih tenang selepas meyakini perlakuan sang suami yang tampak tulus. Kulihat binar matanya begitu redup, kuyakin ia juga merasakan sakit yang mendera. Kesakitan yang serupa. 

Oleh karena itu, aku pun luluh. Ungkapan maaf juga terlontar dari bibirku. Sebab, ia memang tidak bersalah. Perubahan mood-ku saja yang membuat segenap sikapku tak terarah. 

Tiga bulan setelah kejadian itu, aku menyerah.

Kugantungkan sepenuhnya pada susu formula sebagai penyambung nutrisi anakku. Aku berpikir bahwa Tuhan itu sebaik-baik perencana. Jika selama ini usahaku tak membuahkan hasil yang nyata, mungkin Dia sudah menyiapkan rencana indah yang tidak pernah kukira.

"Tugas seorang ibu bukan sekadar mencukupi kebutuhan dengan ASI. Namun, melimpahkan ribuan kasih sayang itu sudah pantas menjadi bukti."

Terdengar subjektif, tetapi perkataan itu selalu mampu menguatkan.

Dengan doa yang terus melangit, kata-kata itu terbukti. Bayi kecilku tumbuh dengan baik. Bahkan, imunnya juga mengagumkan. Jika teman sebayanya, begitu terkena air hujan langsung terserang flu, ia sebaliknya. Hujan adalah teman bermain yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya. 

Dengan demikian, ada satu kunci yang harus selalu diupayakan, yakni kedekatan pada Tuhan. Penerimaan yang utuh serta tak hentinya menggedor pintu langit, akan mampu merobohkan stigma buruk yang selalu membayang. 

Kekuatan doa memang sangat luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun