Di suatu senja yang temaram, kusesap secangkir coffee latte dalam genggaman. Sebagai teman sepi dalam menyambut sang jingga kembali ke peraduan. Di pinggiran kota ini masih sangat ramai. Hilir mudik kendara berlalu silih berganti. Sesaat kemudian, sekelebat bayangan masa silam tanpa sengaja menghiasi netra. Aku terpekur. Membayangkan segenap resah yang sempat mengisi sukma; tentang pendidikan, pekerjaan, dan juga perjodohan. Ketiga hal itu selalu menjadi momok bagi perempuan sepertiku, yang telah sampai pada titik seperempat abad dalam rentang usiaku. Kata orang, ini dinamakan quarter life crisis.
Penuh perjuangan. Penuh kebimbangan.
Kukira, setelah lulus kuliah, kegelisahan menyoal pekerjaan yang akan mengganggu. Ternyata tidak. Justru perihal jodoh yang tak henti digaungkan kala itu. Seperti mimpi buruk, diburu-buru menggenapkan sedangkan pasangan masih tak nampak jelas dalam pandangan. Tersiksa. Tertekan. Tanpa pegangan. Begitulah sekelumit rasa yang enggan beranjak dari pikiran. Ya, itu mungkin adalah konsekuensi yang harus digenggam ketika berada di lingkup hidup yang tak sehaluan.
"Sudah lulus ya, Mbak? Pasti sebentar lagi dimantu ini."
"Saat ini sudah 25 tahun, kan? Sudah waktunya nikah loo itu. Anakku saja yang masih 23 tahun sudah punya anak."
"Anak Pak RT itu juga baru lulus kuliah tahun lalu. Langsung kerja. Terus, dapat jodoh di tempat kerja. Beruntung ya dia."
Ketika segerombolan insan tukang gosip menyerukan komentar tanpa ragu, rasa hati ingin berteriak dengan sekencang-kencangnya; Terserah. Aku tidak peduli. Namun, apa daya. Aku tak bisa. Hanya senyum termanis yang mampu kuurai, sebagai balasan atas tatapan mengejek yang mereka edarkan. Kurasa, membalas dengan sederet perkataan itu tiada guna. Sebab ia hanya akan semakin memperkeruh suasana.
Andai saja mereka paham, bahwa roda kehidupan tak selalu berjalan sesuai yang mereka gambarkan. Bahwa masalah yang dihadapi tak selalu sama bagi setiap insan. Tentu saja, mereka tidak akan seenaknya memberi penghakiman.
Berkata yang baik atau diam.Â
Andai saja kata bijak itu selalu menjadi pegangan. Maka, tak ada orang yang akan terluka karena ringannya umpatan. Tak ada yang akan tersakiti karena berbagai cacian. Sebenarnya, diri ini seringkali ingin menyuarakan isi hati dengan lugasnya, bahwa belum menikah pada usia seperempat abad ini bukanlah aib yang harus digemakan. Namun, apa daya. Aku tak kuasa.