Mohon tunggu...
Ella Yusuf
Ella Yusuf Mohon Tunggu... Administrasi - Tukang Kebun

I love reading as much as I love my cats

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Woman, Don't Ever Shrink Yourself!

12 Maret 2015   13:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:46 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14261377311800219122

[caption id="attachment_372602" align="aligncenter" width="629" caption="(hellogiggles.com)"][/caption]

"We teach girls to shrink themselves, to make themselves smaller. We say to girls, you can have ambition, but not too much. You should aim to be successful, but not too successful. Otherwise, you would threaten the man. Because I am female, I am expected to aspire to marriage. I am expected to make my life choices always keeping in mind that marriage is the most important. Now marriage can be a source of joy and love and mutual support but why do we teach girls to aspire to marriage and we don't teach boys the same? " - Chimamanda Ngozi Adchie



Seorang teman belum lama ini bercerita tentang rencananya untuk menikah. Namun sayangnya, jenis cerita yang saya dengar ini bukan jenis cerita yang menyenangkan. Kami tidak membicarakan tentang pilihan gaun atau gedung yang akan disewanya untuk resepsi nanti, tetapi tentang calon suaminya yang memintanya berhenti bekerja setelah mereka berumahtangga.

Well, sebenarnya bukan hal aneh melihat perempuan berhenti bekerja dan memulai hidup barunya sebagai istri rumahan ketika ia menikah. Kultur kita masih menerima logika bahwa yang laki lah yang bekerja. Tapi cerita tentu jadi berbeda ketika kita sadar bahwa ada banyak wanita yang melepas impiannya ketika ia dituntut untuk berhenti bekerja.

"Padahal sudah selangkah lagi, kalau saya sabar setahun lagi saya bisa pindah ke divisi fiksi..." ujar teman saya sambil mengusap air mata yang jatuh pelan-pelan. Saya hanya bisa menghela nafas dan menepuk pundaknya. Sejak remaja, kawan saya ini bercita-cita untuk jadi editor buku fiksi, dan cita-cita itu hampir bisa diraihnya karena saat ini ia sudah menjadi kopieditor di bagian buku suplemen ujian di penerbit yang juga punya imprin penerbit buku fiksi.

Mungkin banyak orang yang berpikir bahwa wajar saja calon suami atau suami melarang istrinya bekerja ketika sudah berumahtangga, karena ada banyak hal lain yang harus diurus di rumah. Bersih-bersih, memasak, dan -yang paling penting- mengurus anak. Namun sadarkah kita bahwa selama ini perempuan lebih banyak dituntut untuk menjalankan hampir seluruh fungsi rumah tangga padahal laki-laki juga punya tanggung jawab yang sama?

Contoh pada saat membereskan rumah. Dalam pikiran kita, pekerjaan seperti menyapu, mencuci piring atau sekedar merapihkan tempat tidur adalah tugas seorang istri hingga akhirnya ketika suami berinisiatif untuk melakukan salah satu kegiatan itu, sang istri merasa harus berterimakasih. Tak peduli jika ternyata ia bekerja dan sama-sama menghabiskan waktu 8 jam di kantor. Ini saatnya agar kita belajar bahwa suami dan istri punya hak dan kewajiban yang sama dan pengkotakkan peran TIDAK wajib dilakukan.

Ada yang salah dengan cara kita memperlakukan pria dan wanita. Memang, pria dan wanita berbeda, baik fisik mau pun hormon. Secara fisik, pria lebih kuat dan tidak memiliki organ reproduksi seperti rahim dan kelenjar susu, dari segi hormon pun demikian, ada beberapa hormon yang menjadikan wanita jauh lebih kompleks dan perasa di banding pria. Namun poin-poin ini sudah tidak bisa lagi dijadikan alasan untuk mengukur besaran peluang antara lelaki dan perempuan. Kita sudah memasuki era dimana bukan lagi yang kuat yang berkuasa, tetapi yang lebih kreatif dan bijak lah yang jadi pemimpin. Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki untuk meraih pendidikan, meniti karir, dan berada di puncak. Begitu pula laki-laki, meski dianggap lebih kuat, laki-laki juga punya hak untuk dilindungi, baik secara fisik mau pun mental.

Menurutmu apa alasannya lebih banyak remaja laki-laki yang menjadi pencuri dibanding remaja perempuan? Karena sampai sekarang remaja kita percaya bahwa ketika mereka pacaran, maka si laki-laki lah yang harus membayar semua ongkos kegiatan. Nonton, makan, jalan-jalan... Bisa kamu bayangkan? Dengan uang jajan yang sama besarnya, laki-laki dituntut untuk membayar ongkos dua orang. Padahal, tidak ada masalah kan kalau perempuan membayar ongkosnya sendiri atau bahkan membayari laki-laki ketika punya uang jajan lebih? Di awali dari perlakuan-perlakuan inilah akhirnya kita mengkotakkan peran suami dan istri. Suami bekerja, istri urus rumah.

Pernikahan seharusnya bisa jadi status yang mendukung dua manusia agar bisa lebih bahagia, lebih berkembang. Pernikahan bukan tentang membagi peran suami bekerja istri mengurus rumah. Pernikahan adalah tentang kerjasama, tentang dua orang yang menyatukan diri agar bisa saling menguatkan. Bukan pernikahan namanya jika salah satu dari pasangan harus melepas impian mereka -seperti yang terjadi di kasus teman saya-.

Tidak sepenuhnya salah ketika suami melarang istrinya bekerja, karena biar bagaimana pun pasti alasan khawatir yang mendasarinya. Namun, akan lebih baik jika kita menghapus proses pemetaan peran suami dan istri dan mulai berpikir bahwa menikah tidak harus menyebabkan pasangan melepas impiannya, apalagi jika impian tersebut sudah dimilikinya sejak lama. Seperti yang sering Pak Cahyadi Takariawan pesankan, ketika kita memutuskan untuk menikahi seseorang maka kita telah membuat keputusan untuk sepenuhnya menerima kelebihan dan kekurangan orang tersebut, menghormati pendapatnya, dan menghargai kehadirannya. Jadi, untuk kamu wanita yang ingin menikah tetapi sedang dalam tahap mengikhlaskan diri untuk melepas cita-cita, maka ayo hentikan proses itu, bicarakan dengan pasangan dan buat pasanganmu mengerti.

Jangan pernah mengikhlaskan mimpi selama itu masih bisa diraih dengan menyesuaikan keadaan :) [ELA]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun