Perjalanan tujuh jam. Belok kanan lalu ikuti jalan utama ke arah Cikijing. Lurus, melalui Cilimus, Kadu Gede dan desa pinggiran lainnya. Begitu prasasti selamat datang terlihat, maka di kanan dan kiri akan mulai bermunculan pemandangan sawah dan rangkaian gunung yang menjulang dari kejauhan. Kubiarkan jendela mobil terbuka, kurasakan angin dingin menerpa pori-poriku. Sudah enam tahun sejak terakhir kali aku kembali ke kota kecil ini. Kutarik nafasku dalam-dalam lalu kukeluarkan perlahan.
“Berhenti di Kopeci sebentar,” seseorang di bangku belakang berseru. Kopeci, nama toko tahu sumedang kesukaanya. Panas, asin, murah, dan lembut, itu deskripsiku, tapi baginya kata yang paling tepat menjabarkannya adalah ngeunah. Entah sejak kapan, tapi sejauh yang kuingat, ia selalu membeli tahu ini tiap pulang dari pasar alun-alun kota. Mobil kami berhenti di depan bangunan menyerupai rumah bertembok merah dengan plang bertuliskan KOPECI besar di atasnya. Tak ada yang berubah dari toko itu. Jajaran keranjang, antrean di depan jendela, dan kakek yang kini terlihat lebih tua melayani. Aku bersandar, kubiarkan semua orang di mobil turun. Tak seperti mereka, aku ingin melepaskan satu lapis lagi kenangan bersamanya. Kali ini kenagan ketika dia menuntunku turun dari elf dan mengantre di tempat ini untuk membeli empat keranjang tahu.
Usai membeli tahu, kami meneruskan perjalanan. Tak lama lagi jajaran sawah akan ditemani dengan pemandangan waduk. Waduk luas yang kurindukan, waduk yang selanjutnya akan jadi awal munculnya banyak kenangan bersama perempuan itu. Mobil mulai berjalan meliuk menandakan kami mulai melewati kawasan Panenjoan. Di bawah warna biru gelap air waduk mulai terlihat, angin pun kian dingin. Kukeluarkan sedikit wajahku ke jendela. Kupandangi warna biru di bawah sana lalu kupejamkan mataku. Sekelebatan tentang dia yang memintaku membantunya muncul. Mencuci di pinggir danau, mendayungkan seludang kami ke tengah tambak, dan bermain di tengah kebun jagung. Tubuh kecil dengan daster batik dan kupluk putih, wajah kecil berkeriput itu selalu tersenyum dalam otakku. Kutarik lagi nafasku dalam-dalam, lalu kuembuskan perlahan.
Kubiarkan wajahku kebas diterpa angin yang lebih dingin. Kubiarkan semua kebas...
Mobil memasuki gerbang dengan gardu besar dan tulisan Desa Waduk Dharma. Kami sudah sampai di rumahmu, nek. Lurus terus, begitu hamparan waduk menyambut, belok kiri. Di samping kanan akan berdiri tanggul kokoh dengan masjid di atasnya. Ah ya, kini masjid itu berkubah putih hijau. Di lapangan depan masjid ini lah dulu ia mengajakku shalat idul fitri. Kami bawa koran dan sajadah, “taro koran dulu, baru sajadah bisi kotor sajadahnyah,” jelasnya dulu kepadaku dengan aksen sunda yang bukan main kentalnya. Tak hanya untuk sholat idul fitri, kami juga ke masjid ini setiap subuh untuk sholat dan kuliah subuh.
Dulu Kang Isa adalah imam masjid ini, tapi 4 tahun lalu beliau meninggal dan akhirnya digantikan oleh muridnya. Ia selalu bercerita tentang Kang Isa yang mengajarkan bapakku mengaji, Kang Isa yang galak jika bapak dan adik-adiknya ketahuan bolos, dan Kang Isa yang mengantarkan beberapa potong ayam sayur di suatu waktu ketika keluarga bapak sedang sulit bahkan hanya mampu makan dengan nasi putih yang dicampur minyak bekas goreng ikan. Kang Isa mah jalma sabener-benerna jalma, jelas nenek ketika suatu waktu kami berkumpul di teras dan bercerita tentang beliau.
Satu hal yang kusuka darinya... dari nenekku, ia selalu menceritakan kebaikan orang-orang yang ia kenal dan memintaku untuk meniru mereka. Mungkin beberapa orang akan jengkel jika harus dibandingkan seperti itu, tapi aku tahu bahwa nasehat nenek untuk meniru orang-orang baik hanya caranya untuk memuji orang-orang yang ia sebutkan.
Ah, tentu saja gaya nasehat yang satu ini akan kurindukan. Kubiarkan hatiku kebas.
Dari masjid lurus, persimpangan turun, lalu sampailah kami di rumahmu. Rumah berpekarangan luas dengan rimbunan bunga dahlia. Pohon alpukat dan cengkeh belum ditebang. Tentu saja. Kau suka pekaranganmu penuh pohon karena ketika cucu-cucumu datang, masih ada batang yang bisa diikat tali untuk dijadikan ayunan.
“Alhamdulillah sarampe, eh si kaka ngiring?”