[caption id="attachment_350626" align="aligncenter" width="504" caption="Prof Yani naik ke atap mobil bersama dengan para aktivis keperawatan dari PPNI dan mahasiswa keperawatan (dok. Yudi Ariesta Chandra)"][/caption]
Siapa Prof Yani? Ia adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Keperawatan, Mantan Ketua PPNI selama 2 Periode, pelobi kerjasama perawat Indonesia dengan Asosiasi Perawat Kanada, Jepang, dan Asosiasi Perawat Dunia, sosok yang meng-advokasi banyak kasus pidana perawat, perempuan yang mengawali mimpinya untuk menjadi perawat sejak umur 9 tahun.
Mungkin kamu dan teman-teman Kompasiana lain banyak yang belum tahu tentang Achir Yani Syuhaemi Hamid, tapi di dunia keperawatan Indonesia namanya telah dikenal sebagai salah satu tokoh yang memajukan bidang pendidikan ilmu keperawatan.
Di tangannya dan para pengurus PPNI, rancangan undang-undang keperawatan terus diperbaiki dan dinegosiasi hingga akhirnya tepat pada 25 September 2014 yang lalu, akhirnya UU disahkan.
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, Prof. Yani mengawali mimpinya untuk jadi perawat sejak umur 9 tahun, “ waktu tante kecil, tante sakit dan harus dirawat, Ketika itu ella, tante tinggal di Sungai Grong (Palembang), ayah tante bekerja di PT Stanvac jadi masuk rumah sakit yang difasilitasi PT Stanvac... selama dirawat, tante bertemu dengan perawat yang benar-benar baik, cantik, dan perhatian. Mereka membuat tante tidak sedih menghabiskan waktu di rumah sakit, meski saat itu lebaran,” tutur Prof Yani sambil tersenyum mengenang awal mula mimpinya, “baik dan perhatiannya mereka (perawat) ternyata membekas di hati tante, sampai akhirnya waktu itu tante bilang ke diri sendiri, tante mau jadi perawat,” tutur Prof Yani mengakhiri jawabannya untuk pertanyaan awal mimpinya menjadi perawat.
Prof Yani adalah pekerja keras. Menurut dua teman dekat yang juga pengurus PPNI dari angkatan pertama Beliau adalah sosok tergigih dan terngotot yang memperjuangkan hak perawat dan menurut anak-anaknya, yang kebetulan juga berteman dekat dengan saya, ibu mereka ini adalah orang yang paling senang bekerja bersama dan untuk banyak orang.
[caption id="attachment_350627" align="aligncenter" width="483" caption="Prof. Yani dengan anak-anak Sudan ketika kunjungan akademisnya di Afrika. Di facebook beliau menjelaskan kalau mereka adalah anak-anak yang beliau temui di sumur tempat menampung air. (Dok. Prof Yani)"]
Menghabiskan waktu nyaris satu tahun merawat korban di Dili saat Perang Saudara Timor Timur, berjuang menggaungkan suara perawat di agenda pertemuan internasional bidang kesehatan di Geneva, memberi advokasi pada perawat-perawat yang dipidanakan dan tidak diberi haknya, mencari dan menuntut ilmu sampai kepelosok negeri, beliau telah menghabiskan setengah hidupnya untuk belajar dan memperjuangkan hidup orang lain.
Dua bulan yang lalu saya punya kesempatan untuk membantu beliau menyusun kerangka buku, dan dalam kesempatan itu Prof Yani banyak bercerita tentang pengalaman lucu dan mengesankannya selama menjadi delegasi FIK atau Indonesia dala forum-forum internasional.
[caption id="attachment_350628" align="aligncenter" width="490" caption="Berkat kegigihan Prof Yani menjalin kerjasama internasional akhirnya PPNI diakui dan menjadi anggota International Council of Nurses. Perawat Indonesia bersanding dengan perawat negara-negara maju lainnya, foto ini diambil di salah satu acara ICN di Jakarta. (dok. PPNI) "]
Dari sekian banyak cerita yang beliau bagikan, ada satu cerita yang sempat membuat saya tertegun dan nyaris menumpahkan air mata. Cerita itu adalah cerita ketika beliau menjadi salah satu pembicara di kuliah umum akademi perawat di Australia, “Jadi waktu itu tante sedang duduk bersama teman-teman dari FIK, mendengarkan pembicara lain karena jadwal kami ada di hari ke dua. Jadi Ela, di forum itu ada perawat militer yang jadi salah satu pembicaraa saat itu, ketika dia menjelaskan materinya, ia menyebutkan Indonesia is the best at making disaster, saat itu tante marah. Jadi ketika dibuka sesi tanya-jawab tante minta kesempatan dan langsung meminta dia untuk minta maaf pada kami, orang Indonesia yang juga diundang jadi pembicara,
Tapi dia menolak! Akhirnya, tante tunggu dia sampai turun dari podium. Padahal teman-teman tante sudah megangin, minta kalau itu tidak perlu diperpanjang, tapi tidak bisa seperti itu. Pembicara tidak sepatutnya ngomong begitu di forum besar seperti ini, apalagi ada kami dari Indonesia. Begitu dia turun, tante sudah diikuti orang ramai kan, saat itu ada wartawan juga, untung ada media, tante meminta lagi supaya dia mau minta maaf, akhirnya karena wartawan sudah jepret sana sini, akhirnya dia minta maaf,”
Saat mendengar cerita ini, saya membayangkan bagaimana kira-kira pemandangan itu terlihat. Ketika banyak orang merasa kurang puas dengan tanah air dan dengan nyinyir bilang, “namanya juga Indonesia...” ternyata masih ada orang yang justru dengan dagu terangkat menuntut permintaan maaf atas penghinaan yang dilayangkan untuk negaranya.
UU Keperawatan sudah disahkan, akhirnya perjuangan panjang Prof Yani dan tokoh-tokoh perawat Indonesia lainnya untuk UU telah berakhir indah. Lewat artikel ini, saya ingin menyampaikan rasa senang saya untuk perawat dan selamat pada mereka yang terus berusaha agar nasib perawat yang juga rakyat menjadi lebih baik.
Oh ya, Prof Yani juga menulis di Kompasiana lho! Ini akun beliau.
Terimakasih sudah mampir, salam hangat.
Ela
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H