Ada banyak cara yang dipakai Tuhan untuk mempertemukanmu dengan orang yang dulu kaucintai. Saat berjalan di tengah kerumunan, tak sengaja bertemu di pernikahan teman atau ketika kau sedang panik karena mencari tas yang hilang. Tak peduli meski kisah kalian sudah lewat belasan tahun, jika nasib sudah menentukan, meski ada ribuan orang yang berlalu-lalang di sekitaran, kalian akan tetap bertemu pandang. Semua terjadi begitu saja, di tempat yang tak terduga dan di saat yang tiba-tiba. Namun dari sekian banyak cara, mungkin caraku bertemu Kartini kembali yang paling buruk.
“Dok,” perawat jaga melongok sedikit dari balik pintu. Aku mendengar, tapi butuh tes untuk satu peluru lagi untuk menyelesaikan kerja hari ini.
Tok,tok, tok
“Dokter-”,
“ Ya sebentar...” DARR!!
Super vel ammunition, kaliber 0,38”, peluru ringan, sebagian dibungkus jaket, kecepatan tinggi. Yang ini flat nose soft point. Agak jadul, tapi ini bisa menjelaskan kenapa limpa korban hancur.
“Duh,” perawat jaga yang ternyata Imam kini memasukkan telunjuk telinganya dengan wajah kaget dan kesal. Kulayangkan senyum minta maaf, tapi dia malah menghela nafas. Dasar anak muda.
“Ada apa mam?” tanyaku. Kulepas pelindung mata dan telingaku, kuambil ladam peluru yang kini sudah penyok. Cuma aparat yang punya akses untuk senjata jenis ini, tapi mengingat di sana GAM masih bergeriliya, bukan hal aneh jika satu atau dua tentara ditembak mati dengan jenis senjata yang sama seperti yang mereka pegang.
“Pak Ilyas datang, sekarang dokter ditunggu di R1,”
“Bawa bingkisan?” tanyaku padanya, Imam mengangguk sebagai tanda bahwa aku harus pulang lebih malam.
---
“Calon artis koran pagi ini, cantik...” Pak Ilyas menyambutku sambil mengusap-usap kantong besar berwarna kuning. Kudenguskan nafasku dengan senyum tertahan. Sering mengantar jenazah yang meninggal tak lazim membuat beberapa orang punya cara unik untuk menghibur diri sendiri.
“Gimana pak?”
“Yah, identitas lengkap. Masih seumuranmu. 30, auditor, kemungkinan disiksa dulu.” Kubuka catatan yang diberikan Pak Ilyas. Kutatap semua keterangan yang tertera di dalam kolom. Nama, umur, alamat, tempat tanggal lahir, nomer KTP, lokasi ditemukan, beberapa foto serta surat lima paragraf berisi detail TKP. Tiba-tiba hawa dingin menjalar dipunggungku. Tidak!
Dengan kesetanan kubuka kantong kuning itu. Seluruh inci tubuhku berdoa agar orang ini hanya punya nama yang sama, umur yang sama, dan ciri-ciri fisik yang sama dan oh! Tentu saja Tuhan tidak mendengarkan doaku. Tuhan tidak pernah mendengar doaku, bahkan ketika aku memohon dengan putus asa agar ia berhenti meminta pisah.
Jantungku mencelos. Tini berbaring di sana, kaku dengan tubuh menguning, luka cekik, mata kiri lebam dan kening kiri membiru. Di ujung bibir atasnya kulihat luka robek dengan darah kering. Tak lama kemudian kudengar diriku meraung. Bibir itulah yang dulu sering melempar senyum tulus untukku, lewat bibir itulah kata-kata menyemangati dan doa untukku terucap. Dan ya, seperti yang sudah kubilang sebelumnya... dari sekian banyak cara yang dipakai Tuhan untuk mempertemukan kembali orang, cara Tuhan mempertemukanku dengannya lah yang paling buruk.
---
Esoknya koran ramai memberitakan penemuan mayat yang ternyata adalah salah satu anggota tim penyidik KPK. Kartini. Satu-satunya anggota perempuan, dan ternyata pula jadi satu-satunya penyidik yang tak mundur karena ancaman. Namanya ramai dibicarakan, karena atas laporannya lah 18 Pejabat Negara naik kasta jadi tersangka, 6 polisi dicopot jabatannya, dan 30 perusahaan bodong diusut oleh negara.
***
Cermin ini adalah salah satu cermin yang diikutkan dalam even Kartini Rumpies. Untuk melihat cerpen lainnya, silakan klik link INI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H