Suara tangisan itu terdengar lagi. Dari arah bilik redaksi midaz kali ini. Jam digital di komputer Kevin menunjukan pukul11:45, sebentar lagi dia akan tugas sendiri karena shift Tito, kawannya berakhirtepat di pukul 12 malam.
“Kamu dengar gak, To?” tanya Kevin sambil melemparkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia yakin betul bahwa saat ini hanya ada dirinya dan Tito, tak mungkin ada orang dari divisi lain, terlebih lagi perempuan.
“Dengar apa ka?” tanya Tito sambil terus fokus ke layar komputernya.
“Suara perempuan,” lanjut Kevin sambil mengusap tengkuknya. Mendengar jawaban Kevin, Tito berhenti mengetik sebentar lalu terlihat berusaha mendengarkan sesuatu tapi tampaknya, ia tak mendengar apa pun, “trada suara juga.” Tapi baru beberapa detik Tito bicara, Kevin langsung mendengar suara perempuan merintih. Tengkuknya seketika meremang. Sialan... umpat Kevin dalam hati. Ia menggeleng, memutuskan untuk mengacuhkan suara menyebalkan itu. Kevin bekerja diredaksi salah satu web CJ sebagai admin, pekerjaan dan jam kerjanya menuntut Kevin untuk menghabiskan waktu tidur di kantor, tiap malam selama berbulan-bulan.
Ini sudah kesekian kalinya Kevin diganggu oleh tangisan, cekikikan, bahkan sekelebatan sosok hitam. Menjalani tugas malam jadi berat sejak redaksinya pindah ke gedung baru. Meski sadar ini adalah konsekuensi yang harus diterimanya karena mengambil dua jenis pekerjaan sekaligus, -Kevin juga bekerja sebagai pengisi kolom cerpen untuk majalah misteri bulanan, jadi ia memutuskan untuk memilih shift tengah malam- tapi terkadang Kevin merasa tak tahan. Perasaannya kian tak nyaman begitu sadar bahwa suara-suara aneh itu hanya mengganggu dirinya. Teman-teman di redaksinya tak pernah mengalami hal serupa.
“Aaduuhhh, pegal juga,” Tito memecah keheningan, Kevin menarik nafas dalam-dalam. “Korang sakit ka?” tanya Tito padanya, ia menggeleng, “agak kecapean kayaknya to. Apa saya ambil cuti aj-”
BRAKK!
Dari ujung ruangan, suara barang besar jatuh terdengar tiba-tiba. Kevin dan Tito mencari asal suara dan lagi-lagi... itu dari arah bilik Midaz.
“Angin pace, jendelanya ta ditutup pantas AC kurang dingin, orang Midaz suka ngerokok dipinggir jendela,” jelas Tito berusaha menenangkan kawannya yang terlihat kaget dan agak ketakutan. Mendengar penjelasan Tito, Kevin mengangguk tapi matanya tetap waspada menatap bilik Midaz. Tiba-tiba terlintas di pikiran Tito untuk sedikit menggoda kawannya yang paranoid itu dengan memberitahu kalau satu karyawati Midaz yang dulu sempat titip salam untuknya meninggal dua bulan lalu, tapi keinginan itu langsung menguap begitu ia ingat kalau temannya benar-benar sedang kelelahan.
“Saya duluan ya, pace...”ucap Tito lima belas menit kemudian sambil merapihkan tas dan mematikan komputernya. “Kamu bener-bener gak dengar To?” tanya Kevin lagi. Sejak memutuskan untuk bersikap acuh, suara perempuan menangis itu tak kunjung berhenti.
“Dengar apa e, pace? Sepi bagini,” jawab Tito sambil meringis geli. “korang perlu kurangi tu kagiatan tulis cerpen seram. Coba ganti genre, pace... humor ko bisa to?” godanya setelah itu ia berjalan menuju pintu lobby.
5 menit
10 menit
15 menit berlalu. Hanya jam dinding yang setia berdetik untuk menemaninya, Kevin gelisah. Entah mengapa ia merasakan kehadiran orang lain di ruangan. Ada orang yang sedang mengamatinya tepat di belakang. Memikirkan hal ini bulu kuduk Kevin kembali meremang. Ia menggeleng keras-keras, ia perlu menyegarkan diri dengan segelas air dan beberapa kepulan asap rokok.
Baru saja Kevin hendak mengambil air dari galon di ujung ruangan ketika tiba-tiba terdengar suara kresek dan denting keras pintu lift dari arah lobby, siapa yang datang? pikirnya dalam hati. Ia membalik badan, lalu tiba-tiba terentak. Kakinya mundur selangkah, Tito berdiri diam di depannya. Kevin menghela nafas sambil mengusap-usap dadanya.
“Ngagetin aja kamu, ada yang ketinggalan?” Tanya Kevin sambil menggamit gelas dan berjalan ke arah dispenser. Tak ada jawaban, ia berbalik tapi ternyata di tempat Tito berdiri sedetik lalu sudah tak ada orang. Kevin melemparkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan, tapi kosong, tak ada siapa pun. Seketika Kevin merasa darahnya naik ke ubun-ubun. Ia memijat pangkal hidungnya, berusaha menenangkan diri.
Dengan keberanian yang tersisa, ia kembali ke mejanya. “Sejam lagi saya harus pulang, izin.” Gumammnya pada diri sendiri.
Tapi sayang, tak lama setelah ia mengukuhkan niatnya untuk segera pulang, tiba-tiba lampu mati. Ruangan sekejap gelap. Mengetahui bahwa ia tak bisa melihat apa pun, Kevin kelabakan. Ia berusaha mencari ponsel tapi ponsel sialan itu sudah tak lagi di tempatnya. Benda yang baru beberapa detik lalu dilihatnya kini hilang entah kemana. Kevin berusaha mencari korek, senter, bahkan light bulb dari konser yang didapatnya dari liputan, tapi tak ada satu pun yang teraba olehnya.
Akhirnya dengan putus asa, ia meraba telepon dan memencet nomer ekstensi sekuriti.
Tuuut... tuuuut...
“ssrrk halo...” suara seseorang di ujung sana.
“ya halo, ah syukurlah! Mas saya Kevin dari Kontrasiana! Mas tolong bisa gak bawa senter ke lantai 6?”
“srrrkkk... srrkkk...”
“halo? Mas?”
“srrkkk... hihihi... halo mas kevin, srrkk... sombong aja sih hihihi...”
“halo...”
“ssrrrkkk...srrrkkk... mas hihihihi nengok dong ke belakang...hihihihihihi”
SEKIAN.
NOTE:
*kesamaan nama, tempat, dan kejadian hanya kebetulan semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H