Mohon tunggu...
Ella Yusuf
Ella Yusuf Mohon Tunggu... Administrasi - Tukang Kebun

I love reading as much as I love my cats

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bilal

25 Desember 2015   09:53 Diperbarui: 21 November 2017   03:56 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="thelifeinfocus.deviantart.com"]Dua ujung bibirnya tersungging jenaka, memperlihatkan bekas ompong dari satu gigi yang baru tanggal kemarin. Dan seperti biasa a, ketika ia melakukan itu –tersenyum maksudku- mata kecokelatannya bersinar seolah ada bintang di sana. Kian hari ia kian mirip denganmu. Bibir, mata, Lesung pipit, halus rambutnya,  kulitnya, hidung tingginya. Ah a, bagian fisik mana yang tak diambilnya darimu? Dan seolah tak cukup ia merampok semua genmu, ia juga suka ngambek kalau aku masak ikan. Bilal tak suka bau amis, sama sepertimu. Gerutuan kalian pun mirip ketika mencium harumnya bandeng goreng. Ah, dua pria bodohku.

Bilal hari ini genap 5 tahun a. Sebentar lagi ia akan masuk TK B dan seperti yang kau pesankan dulu, aku memilih sekolah PAUD yang tidak mengajarinya membaca atau matematika. Tapi kau tahu kan a, kalau anak kita sudah bisa menuliskan namanya, nama datuknya, dan namamu? Cerdas benar dia. Dan tak hanya itu, akhir-akhir ini ia suka ikut abahnya ke At Taqwa kalau abah sedang ada jatah mengumandangkan adzan. Tinggal tunggu waktu hingga akhirnya ia jadi muadzin bersuara merdu, seperti Bilal sahabat nabi yang kau idolakan itu.

“Kasih ke mamah, sayang...” lihat a, betapa gagahnya anakmu membawa ujung tumpeng buatan rnin. Siapa sangka batik yang diberikan ombainya sudah muat sekarang? Batik merak yang dibawakan ombai dari kediri sangat mirip dengan batik yang kau pakai waktu kecil dulu. Hanya gaya rambut kalian yang membantuku membedakan mana Bilal, mana dirimu hari ini. “Yeeyy, salim ke mamah bang,” kudengar seruan aunty-nya di belakang. Dengan patuh ia menggerakan tangan kecilnya. Jemari mungil itu menggamit tanganku sambil disunggingkannya lagi senyum ompong itu. Seketika mataku panas. Entah sampai kapan aku harus menumpuk dosa dengan menyesali keputusan Tuhan untuk mengambilmu dari sisi kami a. Buliran air panas jatuh melesat bergantian dari kantung mataku, “selamat ulang tahun yaa...” kuterima ujung tumpeng darinya, kuciumi anakmu, kupeluk dia, dan kubisikkan semua doaku dan doamu di telinganya. A, tolong aminkan doa kita dari tempatmu, tempat yang lebih dekat jaraknya dari Tuhan.

 

**

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun