“Tak bisakah?” ulangnya. Tuan besar menggenggam tanganku. Kurasakan kehangatan tangan tuan besar. Tangan-tangan keriput itu sama hangatnya dengan tangan ibu. Dewa, ini tidak akan mudah. Ibu tolong aku.
**
Sudah seminggu sejak kepindahanku ke kediaman Hanada. Sejauh ini aku mengisi hari-hari dengan mengikuti pelajaran kepribadian dan kelas bahasa asing. Untungnya setelah 4 jam mengikuti aljabar dan sastra, tutor memberiku waktu istirahat.
“Nona, teh Anda ada di sini,” Umi-san meletakkan cangkir keramik bergagang di atas meja belajarku. Ia satu-satunya penghuni rumah selain tutor dan tuan besar yang masih mau menyapaku. Umi-san adalah perempuan umur 30 awal, ini tahun kesepuluhnya bekerja untuk tuan besar. Selain dirinya ada Kagami-san, Ariake-san, dan Chiyo-san. Tapi aku belum pernah bertemu salah satu dari mereka, karena selain keluar untuk makan malam, aku belum diizinkan untuk keluar kamar.
“Terimakasih...”
“dan ini tali rami yang nona tanyakan,” lanjut Umi-san sambil tersenyum. Ia memberikanku tiga utas rami yang bentuknya sama persis dengan yang dipakai ayah.
“Umi-san...” aku menerima tali rami itu, mataku panas. Umi-san tersenyum, “apa ini untuk membetulkan gelang cantik itu?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Sudah kuduga, untunglah kupesan Ariake untuk membelikan tali yang sama persis. Nona? Ada apa?”
**
Ia menangis. Beberapa bulir air bening lolos dari sela-sela matanya. Memang beberapa hari terakhir Rin terlihat makin pucat.
“Nona... apa saya boleh memeluk Anda?” tanya Umi akhirnya. Tapi belum juga Umi mendapat jawaban, Rin langsung mendekat dan memeluknya erat-erat. “maafkan aku... terimakasih Umi-san,” ujarnya ditengah tangis yang kian pecah.