“Untuk sementara kau akan masuk SMA almamater Tuan Muda. Tapi sebelum itu, tolong ikuti kelas kepribadian,” ujar Tuan Tomine yang datang menjemputku di pelabuhan. Aku baru tahu kalau orang Tokyo menjemput pelayan mereka dengan mobil semewah ini. Aku mengangguk. Kuremas sapu tangan yang diberikan Marie sebagai kenang-kenangan. Kulimpahkan tiap tekanan rasa takut ke remasanku. Ibu, paling tidak mereka tidak menjualku.
Setelah satu jam lebih, akhirnya mobil masuk ke gerbang yang terbuat dari besi ulir. Butuh waktu beberapa menit hingga mobil yang kutumpangi sampai di depan garasi. Apa mereka akan memintaku membersihkan rumah sebesar ini sendirian? Oh biarlah, membayari biaya rumah sakit bibi dan membiarkanku tetap sekolah sudah cukup membuktikan bahwa majikanku adalah orang baik. Aku akan bekerja sepenuh hati untuk tuan dan nyonyaku nanti.
“Umi akan menunjukkan kamarmu, rapihkan barang-barangmu. Begitu selesai, panggil umi. Dia akan menyiapkanmu untuk makan malam,” Tuan Tomine membantuku mengeluarkan dua tas besar yang kubawa, setelah itu ia menatap mataku dan mendekatkan wajahnya ke kupingku, “Kau maling cilik, jika kau tak pertahankan posisimu, kujamin hidupmu akan menderita di sini,” desis Tuan Tomine. Aku tak mengerti apa yang dimaksudnya, tapi dari nada bicara yang ia pakai, jelas aku tak begitu diterima di rumah ini.
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H