Ketika semua orang mengkampanyekan gerakan antibullying, orangtua justru memancing tindakan bully terhadap buah hatinya.
“Saya sering menyaksikan anak dipukui bertubi-tubi tubuhnya, saat saya sedang dipasar. Si anak meminta sesuatu namun sang ibu tak memberinya akibatnya si anak menangis dan sang ibu marah besar hingga berteriak-teriak dan memukulinya.” (Syasya Kompasiana, 15 Mei 2013)
Ini adalah sedikit penggalan dari artikel Bunda Syasya di Kompasiana. Lewat tulisan, beliau menceritakan kasus orangtua yang menjahit mulut anaknya. Kejam ya?
Tiongkok bukanlah satu-satunya negara. Cara keras dalam “mendidik” seperti ini dilakukan oleh banyak orang tua di dunia, bahkan di negara-negara maju sekali pun. Namun sadarkah kita kalau ada bentuk hukuman lain yang sama buruknya tapi tetap dipilih banyak orangtua karena dianggap jauh lebih “aman”?
Belum lama ini, Dailymail.co.uk mengudarakan berita kasus bunuh diri bocah cantik Izabel Laxamana. Remaja umur 13 tahun itu diduga nekat loncat dari jembatan karena video dirinya yang tengah dihukum sang ayah beredar di youtube. Di video itu, Izabel terlihat tengah berbicara dengan ayahnya dan di sekitaran lantai ada banyak rambut hitam berserakan. Ayahnya menghukum Izabel dengan menggerepesi rambut indah Izabel. Ini terjadi di Washington.
Selain itu, masih di sekitaran Amerika, tepatnya di Kota Georgia, ada salon yang menawarkan mode rambut kakek-kakek untuk orang tua yang ingin “mendidik” anaknya yang nakal. Contoh anak yang sudah dipotong dengan gaya itu bisa kita lihat di foto atas. (kompas.com)
Mungkin bagi sebagian orangtua menghukum anak dengan cara mempermalukan mereka masih bisa diterima, tapi sebenarnya hukuman ini tak lebih buruk dari hukuman fisik. Dengan mempermalukan anak di depan teman-temannya, orangtua sudah melukai mental sang anak, memancing bullying oleh teman-teman hingga tak menutup kemungkinan, anak kehilangan kepercayaan diri, depresi hingga berakhir bunuh diri.
Izabel menjadi contoh nyata. Selain mempermalukan, ada pula jenis hukuman yang bisa menimbulkan efek jangka panjang yang lebih mengkhawatirkan bagi anak kita, yakni melakukan kekerasan verbal terhadap anak.
Bentakan, "Dasar bodoh!" kalimat, "kamu itu anak pungut!", atau sebutan "si dungu!" masih jadi senjata orang tua untuk meluapkan kekecewaannya pada anak. Memang tidak ada luka fisik yang ditimbulkan dari bentakan dan teriakan. Namun, efek dari kekerasan verbal juga sama parahnya. Menurut paparan psychcentral.com, kekerasan verbal bisa menimbulkan perasaan mudah gugup, kekurangyakinan pada eksistensi, merosotnya kemampuan verbal, ketidakpercayaan diri, hingga akhirnya anak hidup dengan perasaan tidak nyaman dengan diri sendiri. Bagaimana anak kita bisa menjadi anak yang kita banggakan kalau ia bahkan tidak bangga terhadap dirinya? Bahkan Alfred Adler -peneliti yang mengabdikan diri pada penelitian kepercayaan diri- menyatakan bahwa kebutuhan yang paling penting adalah kebutuhan akan rasa percaya diri dan rasa superioritas.
Dengan menimbulkan rasa superioritas pada anak, kita mendidik mereka untuk menjadi pribadi yang bisa bekerja keras dan mampu membaca sejauh mana kemampuan dirinya. Mengancam dan membentak bukan solusi. Melakukan dua hal tersebut hanya mendatangkan rasa bersalah dan membuat anak kita tidak merasa dicintai. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mulai mengubah diri dengan memahami beberapa poin di bawah ini.