Mohon tunggu...
Ella Yusuf
Ella Yusuf Mohon Tunggu... Administrasi - Tukang Kebun

I love reading as much as I love my cats

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

The Agent V

8 April 2015   17:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:22 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428488375593877377

[caption id="attachment_377467" align="aligncenter" width="514" caption="TY"][/caption]

Sinopsis

"Well, mmm… aku jarang menggunakan kekuatan itu.

Oh ayolah, kau sudah tahu kekuatan apa yang kumaksud. Ya, aku nyaris tak pernah menggunakan itu sejak benar-benar bisa mengendalikannya. Asal kau tahu, dari sekian banyak jenis kekuatan, kemampuan melihat masa lalu adalah yang paling tidak keren. Maksudku, siapa sih yang mau melihat ibumu bercinta dengan instruktur yoga-nya lewat pelukan ringan?  Dan gara-gara kekuatan mengerikan ini, aku jadi keceplosan menyebut nama pembunuh cinta tak berbalasku Jeff ketika menemukannya tergeletak dengan kepala pecah ditembak..."

Cerita Demi Finn dimulai di sini.

-------

Selamat tinggal masa muda, selamat tinggal hidupku yang tenang.

Aku resmi jadi budak organisasi gelap CIA sekarang. Ya, Sparrow adalah salah satu satuan tak terdaftar milik mereka, CIA maksudku. Jangan tanya aku bagaimana bisa aku bergabung dengan mereka. Kumohon.

Ah, oke, baiklah. Mereka mengancamku untuk meruntuhkan semua alibi ASLI yang kupunya dan memastikan agar aku masuk daftar tersangka di kasus pembunuhan Jeff jika aku menolak untuk gabung. Aku punya celah dan mereka kumpulan ninja, jadi... Oh Tuhan, Kau pasti sedang marah besar padaku ya?

Baiklah, di tengah kemalanganku sekarang izinkan aku yang hina ini menjelaskan apa itu Sparrow. Sparrow adalah satuan bayangan yang bergerak di bawah perintah CIA. Bertugas menangani kasus-kasus kotor dan berbahaya. Percaya atau tidak, mereka, CIA, punya banyak agen yang diselundupkan di organisasi-organisasi mengerikan seperti mafia atau gerakan separatis yang kira-kira nantinya akan menyusahkan negara.

“Kami bekerja untuk pemerintah, tapi berada di bawah perlindungan CIA,"”

Aku tahu, kalian pasti tak percaya bahwa aku, siswi highschool yang hingga dua hari lalu masih berjalan santai di Megatown bisa bergabung dengan satuan rahasia seperti ini. Sama sekali tidak keren, dan rating minggu terburuk nomor satu langsung berpindah. Ironis sekali, padahal sekarang baru hari jumat jadi belum genap satu minggu.

Iphone-ku bergetar. Nomer dengan kode negara yang tidak kukenal menelpon. Oh apa lagi sekarang? Pangeran Harry mengajakku kencan dari Afganistan?

“Hallo?”

“Demi? Sayang, ini mom.” Oh ya, tentu. Pangeran Harry sudah pulang dari Afganistan kemarin dan dia punya pacar. Jadi tak mungkin, kan?

“Oh hai mom, mau memastikan kalau aku masih hidup?” kubuka kulkas. Cuma ada pudding karamel, telur, dua buah apel, dan bacon. Kurasa aku harus ke rumah Anya malam ini. Bastila penuh udang jelas lebih enak dari ham tipis dan mungkin aku harus mampir ke toko 24 jam untuk menyetok beberapa kotak sereal, susu, jus, dan makanan kaleng.

“Oh sayang, kau masih marah? Aku sudah mentransfer uang ke rekeningmu, kau sudah cek? Aku kirim lebih... kau sudah makan, pumpkin?” sambung mom dengan nada yang biasanya selalu berhasil meluluhkanku. Sayang sekali mom, aku tidak sedang ingin berbaik hati. Kubuka seal yoghurt blueberryku. Mungkin aku harus bersiap-siap sekarang karena tadi Anya bilang makan malamnya jam 8, mereka akan menungguku dan Toby –kakak Anya yang sekarang resmi jadi tentara.

“Berapa lama kau akan disana mom? Kuharap kau tidak menjadikan pria itu ayah tiriku.”

“Oh, tidak sayang, kami sudah tidak berhubungan. Aku sendirian di sini,” jawab ibuku dengan nada datar. Aku tersedak yoghurt.

“Sayang? Kau baik-baik saja?”

“Kau sendirian? Apa kau pegang uang?” tissue, aku butuh tissue. Hidungku bau susu rasa bluberry. Ih!

“Kau bercanda? Tidak, Eric bukan orang seperti itu. Dia tidak membawa kabur apapun, aku yang memutuskan hubungan kami. Kurasa kau benar, ini tidak akan berhasil...” Mom pasti sedang mengurut dahinya sekarang. Aku tahu, aku terlalu keras padanya, padahal tak ada yang salah jika mom ingin menikah lagi, hanya saja aku... euh, tak ingin dia melupakan dad. Ya, aku tahu itu kekanak-kanakan. Terserahlah! Kau harus tahu, kami bertiga sangat dekat, dan bahagia. Mom dan aku sangat menyayangi dad, kau tak akan tahu bagaimana perasaan kami saat tahu ayahku, Dad divonis kanker jaringan stadium akhir. Kami hancur, tapi kami tidak menyerah, Dad juga tidak menyerah hingga akhir hayatnya. Aku tak ingin mom melupakan saat-saat bersama kami bertiga dan merusak perasaan yang kujaga dengan memberikanku ayah baru. Kau tahu kan maksudku?

“Demi, aku tahu! Bagaimana kalau kita tinggal di sini?” sambung mom dengan nada riang yang dibuat-buat, sadarkah ia kalau sekarang menelpon dari Italia? Oh Tuhan.

“Apa maksudmu, Mother?” Aku yang mengurut keningku sekarang. Ini sudah jam 7, aku harus siap-siap. Sangat tidak sopan membuat orang-orang yang berbaik hati menawarkanmu makan malam menunggu.

“Well, aku bermaksud untuk memulai brand baru di sini, jadi mungkin akan lebih baik kalau kita pindah dan menetap...” apa aku sudah bilang kalau ibuku adalah salah satu desainer tas di Manolo? Ya Manolo blahnik. Okay, aku tahu, dia hebat. Tapi mentalnya sangat jelek, percayalah.

“Mom, aku tidak ingin meninggalkan rumah kita. Kau tahu kan?” lanjutku sambil berusaha memakai skinny jeans dengan leher miring ke kanan menahan ponsel. Tentu saja headset selalu hilang ketika benda sialan itu dibutuhkan. Terdengar helaan nafas dari sebrang telepon.

“Aku tahu kau akan menjawab itu...” tiba-tiba bayangan wajah mom yang sedang menangis sambil menenggak rocks berkelebat di pikiranku. Aku tahu, dia sering menangis diam-diam. Mom sangat menyayangi dad dan dia punya mental yang payah.

“Euh,  tapi Mom, kau tahu? Aku tidak keberatan jika kau mau buka brand dan membeli rumah disana. Kau bisa pulang, dan aku jadi punya tujuan untuk libur musim panas,” Demi, kau bodoh sekali.

“Oh sayang...” suara mom bergetar, aku duduk di pinggir kasur.

“oh Tuhan, Demi, aku egois sekali ya?” Mom pasti sedang menutup mukanya dengan telapak tangan.

“Tidak mom,” Ya Dem, dia egois. Akuilah.

“Kau yakin? Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan sejak ayahmu meninggal! Aku bahkan memanfaatkan Eric,” tangis mom pecah, kuembuskan nafasku perlahan. “Tidak mom, kau pantas dapat ruang baru.”

“De-mi kau sa-ngat he-bat... maafkan a-ku, oh Tuhan... aku me-ne-mukan sesua-tu yang ingin ku-kerja-kan disini...” ia sesengukan, ibuku terdengar sangat menyedihkan.

“Ya mom, kerjakanlah. Aku sudah cukup besar untuk tinggal sendiri.”

Teringat kembali bahwa aku baru saja menandatangani surat kontrak dengan CIA. Benarkah aku bisa mengurus diriku sendiri? Yang benar saja.

“Oh Dem...”

***

“Ibumu akan tinggal di Milan!?” Anya bertanya dengan setengah berteriak.

“Kecilkan suaramu, girl,” kami sedang berada di kamarnya sekarang, kami? Oh tentu itu aku, Misas, dan Anya. Setelah menandaskan bastilla, taco dan seloyang pai cokelat, kami memutuskan untuk mengerjakan PR bersama karena kebetulan aku juga membawa laptopku. Mengerjakan PR adalah rencana awalnya, tapi sekarang lihatlah! Aku dan Anya nyaris tidak bisa bergerak karena kekenyangan sedangkan  Misas? Yeah, si culun itu benar-benar sedang mengerjakan tugas algoritmanya tanpa berkedip.

“Yah, tapi dia akan pulang seminggu lagi untuk membereskan urusan di sini,” jawabku, mataku mulai terasa berat padahal sekarang baru pukul sepuluh.

“Kau tidak ikut tinggal disana?” tanya Misas sambil terus fokus pada kumpulan rumus pecahan atau apa pun itu.

“Apa kau gila?” Anya menendang pinggang Misas, lelaki itu meringis. Bukankah mereka pasangan yang manis? Aku selalu berharap punya pacar yang bisa dijadikan teman dekat, sayangnya pacarku yang sebelumnya tidak seperti itu, -tidak bisa dijadikan teman dekat maksudku-. Yah, dia tampan dan dia bintang rugby, tetapi sayang  kepalanya sudah terkontaminasi gel rambut, jadi ia tak punya cukup banyak sel otak untuk memikirkan hal lain selain rencana-rencana tolol agar bisa menciumku. Menjijikan. Oke, silakan tebak alasanku putus dengannya. Anya bilang aku gila karena menolak ciuman Mark, tapi serius deh! Apa kau benar-benar akan membiarkan orang yang baru dekat denganmu tiga bulan menjejalkan mulutnya padamu? Tidakkah itu menjijikan? Aku bahkan tidak pernah membayangkan Jeff menciumku meski sudah naksir dengannya selama dua tahun. Dua tahun, dan aku bahkan tidak lebih menarik dibanding homo pshyco yang tega meletuskan kepalanya. Oh, bagus. Mataku panas lagi.

“Jadi, apa kau sudah siap membicarakan pria CIA yang tadi sore menjemputmu?” sela Anya di tengah lamunanku. Oh ya, tentu. Seolah aku bisa melupakan itu.

“Tak ada yang penting, mereka hanya membuatku menemui psikolog,” jawabku sambil mengangkat bahu lalu merebahkan kepalaku dengan malas di sisi tempat tidur. Aku pasti terlihat sangat meyakinkan karena Anya langsung terlihat lebih rileks.

“Mereka seperti orang bodoh ya, kalau soal ceracauanmu, itu kan sudah jelas karena kau sedang shock,” sahut Anya sambil ikut merebahkan tubuhnya. Lalu kami tidur-tiduran, bertukar gosip sambil sesekali menggoda Misas seperti perempuan mabuk dari The Cave. Semua terasa menyenangkan sampai aku tahu bahwa kesenangan ini hanya berjalan selama dua jam, karena selanjutnya... badai datang.

“Demi? Kau di dalam? Sepupumu datang untuk menjemput,” suara aunt Pru, ibu Anya terdengar sayup-sayup dari bawah. Oke, sepupu. Kalimat Aunt Pru membuatku mengerenyit beberapa detik sambil mengira-ngira alasan apa yang membuat Tyler –satu-satunya sepupu yang kupunya- meninggalkan penangkaran pesutnya yang berharga di Myanmar dan datang ke New York untuk menjemputku di rumah teman yang bahkan tak pernah dikenalnya.

***

“Jadi,” kuperbaiki posisi dudukku, tentu saja dia bukan Tyler “sekarang, boleh kutanyakan mengapa kau tiba-tiba menjadi sepupuku dan berbaik hati datang menjemput?” kubuat suaraku setenang mungkin. Si Jake masih juga memasang muka datar. Aku yakin, sekian banyak kemampuan, memasang muka datar adalah salah satu yang bisa dilakukannya dengan sempurna. Ini terbukti, ia bisa melakukannya tanpa cela.

Sebenarnya aku tidak akan merasa sekesal ini kalau saja dia tidak datang, mengaku sebagai sepupuku, beramah-tamah dengan Ibu Anya dan tersenyum hangat ketika melihatku keluar dengan tampang bingung. Hanya saja memang itulah yang ia lakukan. Maksudku, yang benar saja! Sepupu?

“Yo, girl. kau sudah siap?” dia menyapaku dengan senyum lebar dan suara seringan kapas. Seolah tak cukup aku dikejutkan dengan kehadirannya di rumah Anya, dia juga membuatku nyaris terjungkal ketika memuji betapa enaknya pai dan teh yang disuguhkan ayah Anya untuknya.

“Bukan mauku, ini perintah,” rahangnya sedikit menegang. Ingin rasanya aku berteriak dan menarik kerah kemejanya –yang entah mengapa membuatnya terlihat... hah! lupakan- tapi itu pasti akan mengundang masalah. Maksudku, kita tak pernah tahu kan? Menjadi saksi untuk penembakan Jeff saja sudah cukup untuk menjadikanku anggota satuan rahasia, jadi bukan tidak mungkin jika aku melakukan kekerasan pada agen terbaik CIA mereka akan menjadikanku objek percobaan senjata kimia mengerikan.

bersambung...


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun