Ia tertidur dengan mulut terbuka. Kuusap lebam-lebam di kakinya dan kutemukan banyak titik merah menggerombol di sana. Kuingat pula bahwa bintik-bintik ini juga ada di seluruh punggung dan perut. Mataku kembali panas.Selaput matanya terlihat bengkak dan bulir-bulir air mulai melesat jadi aliran keringat yang mengalir ke arah telinga. Ia terlihat sangat lelah. Wajar, mengingat kerasnya perjuangan anak ini melawan dua perawat yang ingin memasangkan infus tadi.
Aku dan ibuku sudah berdiri dua jam di sisi tempat tidur, tak ada bangku, tak ada tempat menaruh barang, kaki kami mulai sakit tapi sepertinya kami memang sedang tak ingin duduk sekarang.
Hanya ada 9 tempat tidur yang terisi penuh anak-anak sakit keras dengan orangtua bermata lelah yang menemani mereka. Sudah berjam-jam tapi kami belum mendapat kejelasan dari dokter UGD untuk mengurus apa pun.
"Dokter jaganya sedang jenguk kamar bu, nanti begitu datang akan langsung diurus adeknya" itu penjelasan suster yang kudengar ketika orangtua lain yang lebih berani bertanya pada dua perawat di meja mereka.
Tak banyak obrolan yang kubuat dengan ibuku. Kami sibuk dengan benak masing-masing.
"Sebentar lagi maghrib, kamu cari musholla gih biar Adnan sama mama..." ujar ibuku memecah keheningan.
"Iya... nanti nunggu Abang dateng."
Kulayangkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tepat di samping tempat tidur anakku, ada anak kecil berkerudung tengah mengobrol dengan ibunya. Beratnya hanya 7 kilo, padahal ia seumur Adnan, 2 tahun. Malnutrisi katanya. Tulang tangannya terlihat panjang dan bisa kulihat kulitnya berkerut seperti lansia dan agak terkelupas.
Di seberang dekat pintu masuk, ada anak umur 6 tahun yang tengah merintih kesakitan. Kudengar sepintasan, ia dilarikan karena konstepasi akut. Ia butuh operasi, tapi masih menunggu tanda tangan dokter di sini.
Di sampingnya ada bayi, masih sangat kecil. Mungkin belum ada sebulan ia lahir, karena kulihat ibunya masih berjalan dengan cara yang aneh. Cara yang sama ketika aku baru melahirkan Adnan, agak pincang dan bungkuk karena sakit bekas jahitan.
Ada satu anak yang lebih besar di sampingnya. Entah apa penyakitnya, tapi yang jelas pasti cukup parah sehingga perlu dirujuk ke rumah sakit seramai ini.
"Ibu anaknya putih banget..."
Kudengar ibuku menyapa ibu berkerudung hijau yang tengah melamun. Mendengar komentar ibuku, ia tersenyum.
"Tuh la, cakep yaa sampe pirang gitu rambutnya..." lanjut ibuku. Aku menangguk dan tersenyum simpul.
"Mbak anaknya diagnosisnya ITP juga ya?" tanyanya, menerima undangan ibuku untuk mengobrol.
"Iyaa mbak. Anak mbak ITP?" tanyaku balik. Ia mengangguk.
"Saya lagi nunggu donor, anak saya kepentok pas lagi main sama abangnya," Baru kusadari kalau bagian mulut anak itu berwarna merah dan bibirnya agak bengkak. Kubulatkan mulutku, kuanggukkan kepalaku.
"Ooo, jadi ga bisa berenti ya darahnya? Jadi mau transfusi?"tanya ibuku, aku bisa merasakan keingintahuan yang besar di suaranya. Kami memang buta soal penyakit ini, tapi dari penjelasan dokter apa yang diidap anakku menjadikannya seperti humpty dumpty yang sedang duduk di tembok tinggi.
"Iya, tadi angka trombositnya tinggal ribuan..." jelasnya. Aku dan ibuku terdiam.
"Anak saya dari bayi ITP bu, kalo ibu kan baru ya? Tadi saya denger obrolan sama asisten dokternya..."
"Iya bu, baru 3 minggu ini ada lebam-lebamnya, bintik merahnya baru 4 hari lalu..."
"trombositnya berapa?"
"16 ribu..."
"Oooh... iya udah rendah itu. Tapi gusi kuping idung gak ada yang berdarah kan?" tanyanya sambil melemparkan pandangan ingin tahu ke Adnan.
"Enggak bu."
"Alhamdulillah mbak, cepet ketahuannya... Anak saya pas pendarahan di mata baru ketauan ada ITP, akhirnya dia gak bisa liat sampai sekarang..." ucapnya lirih. Jantungku mencelos seketika.
"Mah, aku keluar dulu ya, bu saya keluar dulu udah adzan..." tanpa menunggu jawaban mereka, kutinggalkan ibuku dan ibu itu.
Kurasakan badanku bergerak ke arah pintu. Dadaku nyeri, tapi bisa kurasakan kalau sekarang aku tengah bernafas cepat. Aku berjalan tanpa menoleh kanan-kiri, keluar dari UGD. Sekeluarnya dari pintu IGD, kualihkan pandangan ke arah lapangan rumput besar.
Kucari tempat duduk terdekat lalu kujatuhkan tubuhku ke bangku. Aku duduk diam sambil berusaha menarik nafas sedikit-sedikit.
"Allahu akbar... Allahu akbar... Laa ilaa haa Ilallah..."Air mata takutku akhirnya mengalir. Kuembuskan jawaban dari panggilan sholat maghrib ini "Laa haula walaa kuwwata illa billaah..."
bersambung...
--
Catatan kecil:
ITP, Idiopathic thrombocytopenic purpura. Kondisi kelainan dalam tubuh dimana sistem imun menyerang trombosit darah. Penyebab belum diketahui. kadar normal trombosit dalam darah adalah 150.000-220.000. Umumnya penderita ITP hanya memiliki trombosit di bawah 50.000. Keadaan ini menjadikan penderita mudah mengalami pendarahan dan rendahnya kadar trombosit darah menjadikan pendarahan sulit bahkan tidak dapat dihentikan. Mengancam keselamatan jiwa? Ya, apabila terjadi pendarahan dalam otak atau organ vital lainnya dalam tubuh. Namun selama risiko pendarahan dihindari, maka penyakit ini tidak akan menimbulkan masalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H