Istilah "generasi strawberry" pertama kali digunakan oleh ekonom Jepang, Masaaki Yamada, untuk menggambarkan generasi muda yang lahir setelah tahun 1980-an. Generasi ini disebut sebagai "strawberry" karena mereka dianggap lemah dan rapuh, seperti buah strawberry yang mudah rusak.
Generasi strawberry sering dikritik karena dianggap terlalu manja dan tidak memiliki daya tahan. Mereka juga dianggap terlalu konsumtif dan tidak memiliki jiwa juang. Kritik-kritik tersebut tidak sepenuhnya salah. Memang, generasi strawberry tumbuh di tengah kondisi ekonomi yang serba mudah. Mereka dimanjakan dengan berbagai kemudahan, mulai dari fasilitas pendidikan, kesehatan, hingga teknologi. Namun, kondisi tersebut juga menimbulkan tekanan tersendiri bagi generasi strawberry.
Tekanan yang dihadapi dapat digambarkan sebagai "tekanan dari luar" dan "tekanan dari dalam".Tekanan dari luar berasal dari lingkungan sosial dan budaya yang semakin kompetitif. Generasi strawberry dituntut untuk selalu unggul dan sukses, baik dalam bidang pendidikan, karier, maupun kehidupan sosial. Tekanan dari dalam berasal dari rasa tidak aman dan tidak percaya diri. Generasi strawberry sering merasa tidak mampu bersaing dengan generasi sebelumnya.
Tekanan-tekanan tersebut dapat mendorong mereka untuk melakukan berbagai hal demi memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Salah satu hal yang sering dilakukan adalah dengan berutang. Utang dapat menjadi solusi yang cepat dan mudah untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Namun, utang juga dapat menjadi jerat yang dapat menjerumuskan generasi strawberry ke dalam jurang keterpurukan.
Berikut merupakan tekanan finansial yang dialami generasi Strawberry:
1. Kesenjangan sosial ekonomi yang melebar:
- Generasi Strawberry lahir dan tumbuh di era di mana kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok terus meningkat,sementara upah dan gaji tidak selalu sebanding. Hal ini membuat mereka merasa tertinggal dan sulit untuk mencapai kestabilan finansial.
- Akses ke kredit dan modal yang mudah bagi kalangan tertentu, sementara sebagian besar generasi Strawberry berjuang dengan sistem keuangan tradisional yang kurang ramah bagi pemula dan berpenghasilan rendah.
2. Kultur konsumerisme dan "instant gratification":
- Media sosial dan budaya pop secara gencar mempromosikan gaya hidup hedonis dan konsumtif. Generasi Strawberry dibombardir dengan pesan-pesan yang mendorong pembelian barang-barang terbaru, mengikuti tren, dan menikmati pengalaman mewah, bahkan jika itu membutuhkan pengeluaran di luar kemampuan.
- Fenomena seperti "fear of missing out" (FOMO) dan tekanan untuk "tampil sempurna" di media sosial mendorong generasi Strawberry untuk berhutang demi memenuhi ekspektasi yang tidak realistis.
3. Kurangnya edukasi finansial yang komprehensif:
- Banyak sekolah dan institusi pendidikan belum memberikan edukasi finansial yang cukup dan relevan. Mereka kurang memahami konsep pengelolaan keuangan, perencanaan keuangan, dan literasi keuangan digital.
- Hal ini membuat mereka rentan terhadap skema pinjaman predatoris, produk keuangan yang tidak menguntungkan, dan keputusan finansial yang impulsif.
4. Pasar kerja yang semakin kompetitif dan tidak stabil:
- Generasi Strawberry memasuki dunia kerja yang semakin kompetitif dan tidak stabil. Ketidakpastian ekonomi, automatisasi pekerjaan, dan gig economy membuat mereka rentan terhadap kehilangan pekerjaan, pendapatan yang tidak menentu, dan kesulitan membangun karier yang stabil.
- Tekanan untuk mencapai kesuksesan finansial dengan cepat dapat mendorong mereka untuk mengambil risiko finansial yang tidak perlu, seperti berinvestasi tanpa pengetahuan cukup atau terjebak dalam skema "get rich quick."
5. Stigma terhadap kesehatan mental dan bantuan finansial:
- Generasi Strawberry sering kali merasa tertekan untuk menyembunyikan stres dan kecemasan terkait finansial.Stigma terhadap kesehatan mental membuat mereka enggan mencari bantuan profesional, yang dapat memperburuk kondisi finansial mereka.
- Kurangnya akses ke layanan konseling finansial yang terjangkau dan tidak menghakimi juga menjadi kendala bagi mereka untuk mendapatkan dukungan dalam mengatasi tekanan finansial.
Oleh karena itu, penting bagi generasi strawberry untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk menghadapi tekanan finansial. Dengan mengambil langkah-langkah konkret, generasi ini dapat mengurangi tekanan finansial yang mereka alami, meningkatkan kesejahteraan mereka, dan membangun kemandirian finansial.
Berikut adalah beberapa langkah-langkah konkrit yang dapat diambil untuk menghadapi tekanan finansial:
1. Menentukan tujuan finansial
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan tujuan finansial. Tujuan finansial ini dapat berupa tujuan jangka pendek, seperti membeli rumah, atau tujuan jangka panjang, seperti dana pensiun.
2. Membuat anggaran
Setelah menentukan tujuan finansial, langkah selanjutnya adalah membuat anggaran. Anggaran ini akan membantu generasi strawberry untuk melacak pengeluaran dan pendapatan mereka.
3. Mengurangi pengeluaran
Langkah selanjutnya adalah mengurangi pengeluaran yang tidak perlu. Generasi strawberry dapat memulai dengan melakukan audit pengeluaran untuk mengidentifikasi pengeluaran yang dapat dikurangi.
4. Meningkatkan pendapatan
Jika pengeluaran sudah dikurangi, tetapi masih ada kekurangan, maka generasi strawberry dapat mencari cara untuk meningkatkan pendapatan. Generasi strawberry dapat memulai dengan mencari pekerjaan sampingan atau memulai usaha kecil.
5. Mempelajari pengelolaan keuangan
Generasi strawberry juga perlu mempelajari pengelolaan keuangan untuk membantu mereka mengelola keuangan mereka dengan lebih baik. Generasi strawberry dapat belajar secara mandiri atau mengikuti kursus pengelolaan keuangan.
Konsep riba dalam pemahaman ekonomi Islam dapat menjadi cerminan dari tekanan dan transformasi yang dihadapi generasi strawberry. Riba dilarang dalam Islam karena dianggap sebagai tindakan yang merugikan dan tidak adil. Hal ini mengacu pada praktik memperoleh keuntungan atau tambahan tertentu tanpa keterlibatan dalam upaya produktif atau tanggung jawab yang jelas. Dalam ajaran Islam, riba dilarang secara tegas karena dianggap sebagai tindakan yang tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga tidak adil dalam bertransaksi.
Pertama-tama, larangan terhadap riba dalam Islam mencerminkan prinsip keadilan ekonomi. Praktik riba dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam pemberian dan pengambilan pinjaman, yang pada gilirannya dapat memperburuk kesenjangan ekonomi antara individu dan kelompok masyarakat. Oleh karena itu, larangan riba bertujuan untuk memastikan distribusi kekayaan yang lebih merata dan adil di antara seluruh anggota masyarakat.
Kedua, riba dianggap merugikan karena menciptakan siklus utang yang sulit untuk diputuskan. Dengan adanya beban tambahan yang harus dibayar, peminjam dapat terjerat dalam spiral utang yang sulit untuk diatasi. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian finansial, tetapi juga dapat memicu tekanan mental dan ketidakstabilan ekonomi bagi individu dan keluarga.
Dalam keseluruhan konteks ini, larangan riba dalam Islam dapat dilihat sebagai upaya untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan mempromosikan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.