Akhirnya keinginan saya ke Kepulauan Seribu jadi kenyataan. Setelah sekian kali janjian sama teman-teman, sulit mempertemukan jadwal pergi ke sana bersama, akhirnya ketika Group Kagama Virtual -Keluarga Alumi Universitas Gadjah Mada yang diawali bertemu secara virtual-, mengumumkan akan mengadakan reuni di Kepulauan Seribu, tanpa pikir panjang saya langsung daftar. Untuk mendapatkan kesempatan ke sana, tidaklah terkabul begitu saja. Saat mendaftar, saya bahkan masuk waiting list dahulu, karena peserta terbatas 60. Lalu akhirnya bisa mendapatkan kesempatan setelah diantara 60 orang yang lebih dulu daftar ada yang membatalkan. Asiiik. Beberapa hari sebelum berangkat, diantara sekian banyak teman itu, sejujurnya hanya satu nama yang benar-benar saya kenal cukup lama, yaitu Dhanti. Kami bersahabat sudah 10 tahun, sejak di kampus UGM. Lainnya, ada yang sudah kenal via Group BBM, sesama alumni JS, ataupun hanya lihat foto dan kalimat-kalimatnya yang beredar di Group Kagama. Eh iya, ada Ulfia, teman yang pernah sekali bertemu ketika acara reuni Kagama di MetroTV, Februari 2012 lalu. Malam sebelum berangkat, saya menginap di rumah Ulfia, karena paginya akan berangkat bareng dijemput mobil Mbak Ayi (Lestari Octavia). Sebelum berangkat, saya mencari informasi tentang Pulau Rambut. Saat itu baru tahu pulau tersebut ternyata berupa hutan, berlumpur, tidak berpenghuni, dan tentu saja tidak ada penjual. Kami akan menginap di pos jaga atau bikin tenda, bukan di penginapan. Hah?! Terus terang, selama ini saya bukan termasuk orang yang suka jalan-jalan ke medan berat seperti hutan atau pegunungan. Saya hanya khawatir tubuh saya nggak kuat di medan seperti itu, lalu seandainya sakit akan merepotkan orang. Hehe. Ya sudahlah tidak apa-apa, yang lebih penting silaturrahimnya, bertemu kawan-kawan baru, sodara-sodara baru. Bertemu teman-teman sealmamater meski dulu di kampus sama sekali belum pernah bertemu, tetapi biasanya segera akrab dan seperti menemukan sodara lama. Saya tinggal di Depok, yang ternyata tak jauh dari rumah Ulfia. Ketika Ulfia menjemput, dia bilang bawaan saya banyak banget. Dia bilang cuma bawa diri dan tas slempang kecil. Hah?! Saya pikir, saya membawa barang-barang sesuai dengan petunjuk panitia. Bahkan masih kurang, tidak membawa sleeping bag, karena tidak punya. Satu tas ransel digendong, satu tas tangan, satu lagi tas untuk jaket tebal. Isinya lengkap, baju 3 potong dan pakaian dalam, peralatan mandi, mukena, selimut tebal, obat-obat pribadi, kaos kaki, kaos tangan, topi, senter, make up, cemilan, dan air mineral 1,800 liter. Bahkan tadinya saya mau bawa koper beroda. Beginilah tipikal anak rumahan yang hendak pergi ke hutan, rempong! :D Lalu, pagi-pagi kami dijemput Mbak Ayi dan Mas Sholeh, di jalanan kami mengangkut juga Mbak Andi Rahmah, Mbak Raisah, Pak Endro, dan Pak WWB. Satu mobil berdelapan! Saat di Bandara Soekarno Hatta barulah kami bertemu dengan teman-teman lain, wajah-wajah yang bagi saya asing. Dari bandara, kami menuju Tanjung Pasir untuk persiapan naik kapal dan pembagian kaos. Kaosnya ada dua warna, hitam dan putih, desainnya OK banget, meski ukuran terkecil M masih kedodoran buat saya. Di sini suara toa Indri, panitia acara, terdengar untuk pertama kali, untuk mengabsen dan membagi kaos. Lalu, kami naik kapal menuju Pulau Rambut. Saya lupa menghitung waktu, tapi kira-kira 1 jam. Gelombang air laut sedang cukup besar, yang mabuk laut disarankan minum obat. Sampai di bibir pantai Pulau Rambut, kami disambut dengan sampah-sampah berserakan. Sayang sekali area konservasi seperti ini dipenuhi sampah yang tidak bisa terurai. Banyak plastik, karet ban bekas, sandal jepit, sepatu, juga beberapa sandal bermerk, sayangnya cuma sebelah. Haha. Setelah meletakkan barang bawaan, suara toa Indri kembali memanggil kami. Sembari menunggu makan siang datang, kami berkenalan dengan permainan. Nama saya Laeli, saya ingin ke Bulan membawa Lampu Peromaks. Boleh? “Boleh.” Kata teman-teman. Sip! Siapa namamu? Lalu, permainan Hujan Badai. Selanjutnya kami dibagi kelompok laki-laki dan perempuan, untuk permainan lagi. Pokoknya seru deh. Makan siang telah siap. Makan siang didatangkan dari pulau seberang. Pulau Untung Jawa, pulau terdekat dengan Pulau Rambut. Di Pulau tersebut konon airnya tidak asin. Nuansa di Pulau untung Jawa juga konon seperti di kota, banyak rumah dan area pertokoan. Kami makan siang yang enak. Ikan laut bakar, sayur kangkung, cumi tepung goreng, dan sambal kecap yang mantap. Mungkin karena ikannya segar ditambah rasa lapar, dilidah rasanya sangat lezat. Setelah jamaah shalat dhuhur yang di-jamak-qosor dengan ashar, kami berangkat menyusuri hutan, kelompok saya menuju Menara Pandang, untuk melihat bermacam burung yang beterbangan dan duduk di ranting pohon. Menara dibuat dari baja, kami perlu menaiki tangga yang cukup membuat jantung berdebar. Apalagi bagi yang takut ketinggian. Turunnya lebih menyeramkan. Tetapi menyesal kalau tidak mencoba. Karena di atas sana, pemandangannya sangat indah. Jika pakai topi, pastikan terikat kuat. Karena topi salah satu teman kami terbang ditiup anging, nyangkut di tajuk pohon. Di sepanjang jalan setapak menuju ke sana, kami menemukan pohon dari keluarga Jeruk, kata pemandu jalan, itu tanaman endemik Pulau Rambut. Banyak juga ditemukan Jati pasir, Waru Pantai, Kepuh, dan gadung. Buah kepuh sekilas dari jauh seperti apokat, begaitu juga pohonnya. Umbi gadung ini juga berserakan di sepanjang area hutan, untuk memakannya perlu pengolahan khusus. Sepanjang perjalanan tidak saya temukan sama sekali tumbuhan keluarga benalu. Hanya ada jenis liana entah apa namanya yang menempel di pohon. Batangnya menempel dan menembus batang tanaman inang, namun akarnya menghujam ke tanah, saya yakin bukan dari keluarga benalu. Mungkin juga karena burung-burung di sana juga didominasi oleh burung sejenis elang, pemakan ikan. Hanya sedikit burung yang memakan buah-buahan. Sedangkan penyebaran biji benalu dibantu oleh burung-burung jenis tertentu. Dimana banyak pepohonan, saya memang cukup perhatian terhadap keberadaan benalu, itulah mengapa skripsi saya dulu juga mengangkat tentang benalu. Tepatnya perihal mikroanatomi benalu. :) Di sebuah papan di dekat pos jaga, juga terdaftar sejumlah hewan yang bisa ditemui di pulau tersebut. Diantaranya yang besar seperti biawak dan ular berbisa cincin emas. Dalam perjalanan, kami menemukan keduanya. Ular cincin emas kami temui di atas pohon. Menurut penjaga pantai, ular itu sudah seminggu di atas pohon tersebut. Biasanya setelah makan tikus atau bangkai burung, mereka tertidur cukup lama. Sedangkan biawak ditemukan ketika hari menjelang sore. Biawak ini pergi ke pantai pada pagi hari, lalu sorenya pulang ke hutan untuk kemudian tidur di bawah gorong-gorong di sekitar pohon besar. Di dalam hutan, ada banyak rawa yang ditumbuhi pohon bakau, patahan koral dari laut berserakan seperti tulang diantara akar nafas yang muncul di sana sini. Banyak lubang di sana sini, konon lubang pintu rumah kepiting besar. Saya lulusan Biologi, tapi sepertinya baru pertama kali lihat langsung dari dekat ekosistem seperti ini. Kemana saja selama ini? Huahahaha. Setelah jalan-jalan masuk hutan, kami kembali lagi ke Pos Jaga dan tenda. Lalu menjelang magrib, sebagian besar kami masuk hutan lagi ke suatu area untuk mengabadikan momen sunset. Saya berada di rombongan terakhir. Sekitar 6 orang rombongan terakhir ini kehilangan jejak peserta di depannya. Maka kami bolak balik coba-coba arah malah nyasar, akhirnya balik ke tenda. Kami bingung, harus lari ke hutan atau belok ke pantai. Mungkin ini yang dirasakan oleh panyair puisi Kulari ke Hutan, yang dibacakan Dian Sastro dalam film Ada Apa dengan Cinta. Halah! Saya menuju ke dermaga bergabung dengan teman yang sudah ada di sana sejak tadi. Teman yang lainnya yang tadi nyasar, berangkat lagi setelah menemukan satu pemandu yang paham area.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H