Mohon tunggu...
nurlaeli umar
nurlaeli umar Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Nurlaeli Umar, aku penyuka aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Pahlawan] Hanya Perempuan Sederhana

10 November 2013   09:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Nurlaeli Umar

Nomor: 7

Perempuan itu terlalu sederhana untuk diberi selempang bertuliskan pahlawan, apa lagi menerima karangan bunga. Dia tidak akan tertulis dimana- mana. Tidak pada buku sejarah, tidak juga nisannya akan pernah ada di taman makam pahlawan. Bahkan dia hanya pahlawan bagi si kecil Wawan.

Wawan, anak pemilik keterlambatan itu hanya bisa jadi ejekan teman-temannya saja. Bagaiman tidak, ini bukan pembenaran, tapi keadaan yang menyedihkan, hingga permakluman bisa dijberikan. Untuk mengucap kata-kata dalam keseharian saja di umurnya yang enam tahun, dia kalah telak dari anak tiga tahun.

Wawan terlahir dari keluarga miskin, keluarga yang menganggap semua kekurangan adalah takdir mereka. Tidak bisa tulis dan baca, bukanlah masalah yang harus ditakutkan, toh masih bisa menjual tenaga kelak jika dia dewasa untuk hidupnya.

Perempuan itu pun hanya berbekal ijazah SMA dan predikatnya sebagai perempuan yang halus rasa. Entah keberanian apa hingga perempuan sederhana itu bernyali untuk memberikan les tambahan kepada Wawan. Padahal guru sekolahnya saja di taman kanak-kanak sudah angkat tangan.

Keluarga Wawan juga arogan, saat temannya tidak mengerti apa yang dia ucapkan, Wawan kecil langsung marah, pulang dan ayah ibunya berulah. Mereka berbantah-bantahan dengan pihak sekolah. Merasa tidak diperlakukan adil ayah Wawan kerap mengamuk. Bahkan beberapa kaca pernah menjadi sasarannya. Dan akhirnya pihak sekolah sudah mengultimatum untuk pundah dan menutup sekolah, jika memang kejadian nanti berulang. Pihak sekolah sudah bosan, dan memikirkan akibat yang tertinggal dalam ingatan siswa lainnya.

“Insyaallah saya bisa!”

Kalimat itu diucapkan ketika Wawan kecil ditawarkan kepada perempuan sederhana itu untuk diberi les tambahan. Bagaimana mungkin, memang pernah ada pelajaran psikologi di SMA, semua orang tahu bagaiman kwalitasnya jika seorang lulusan SMA dibandingkan dengan guru-guru TK yang notabene lulusan perguruan tinggi. Mustahil, itu pendapat yang logis.

Mustahil mendapatkan perubaan besar, mustahil untuk bisa mengejar ketertinggalannya pada anakanak yang normal. Apalagi perempuan itu sederhana pengalamannya. Tidak ada satu pun tetangga di sana yang memercayainya. Tidak ada, bahkan aku.

Wawan kecil mengetuk pintu kontrakan sepetk itu selepas maghrib.

“Ibu ini Papang!” uajr Wawan berkali-kali di depan pintu.

Coba lihatm ntuk mngeucakan namanya sendiri saja dia salah, belum lagi anak itu sering bertingkah.

Pintu pun terbuka, menyembul sepotong wajah penuh senyum sumringah.

“Bisa baca salam? Ayo, Ibu tutup pintunya, diulang ya!”

Pintu ditutup dan Wawan kecil mengucao salam. Itu berulang besok dan besoknya lagi.

Perempuan sederhana itu bahkan harus mengajari bagaiman memgang pensil, tangan itu bahkan meski sudah dua tahun memasuki sekolah taman kanak-kanak masih gemetar memegang pensil.Lalu dengan sabar dan telaten, dia menuntun tangan Wawan hingga sebulan setelahnya dia tampak terbiasa. Perempuan sederhana itu mengajari bagaiman mengucap hurup, agar ucapan yang keluar dari mulut Wawan jelas artikulasnya. Lalu satu demi satu huruf-huruf itu singgah di memori Wawan.

“Ibu, Wawan ingin menggambar ibu guru yang cantik.”

“Boleh, tapi Ibu bukan ibu guru, panggil saja Ibu Mia.”

Wawan kecil menggeleng, “ Tapi Wawan akan tetap memanggil Ibu Guru, Wawan kalau sudah besar ingin menjadi polisi.”

Perempuan sederhana bernama Mia itu menangis terharu, dalam hatinya berbisik sebuah pinta, “Tuhan, Engkau maha pemurah, beri muridku keajaiban.”

Sebuah gambar di sodorkan, hanya berupa dua buah lingkaran, dsatu besar dan satu kecil.

“Ini Ibu dan ini Papang! Ibu guru cantik dan baik.”

Sebuah usapan sayang mendarat di kepala Wawan kecil. Kelak dua puluh tahun yang akan datang semua tidak sesederhana seperti saat ini, saat cita-cita tergapai, perempuan sederhana itu akan tetap tinggal meski hanya sebagai kenang dalam hati Wawan. Seorang guru yang hanya dibayar tiga ribu rupiah untuk dua jam pelajaran dan mengajarinyaa dengan kasih sayang.

#Fiksi Hari Pahlawan

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Fiksi hari Pahlawan.link: http://www.kompasiana.com/androgini].

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community. [link: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun