Mohon tunggu...
nurlaeli umar
nurlaeli umar Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Nurlaeli Umar, aku penyuka aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FKK] Banjar Biarkan Aku Melupanya

14 Juni 2014   02:51 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:49 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Nurlaeli Umar

Nomor peserta: 73

Kalau kau bertanya aku berasal dari mana, aku harus bilang apa? Mukaku Jawa sekali begitu juga logat bicaraku. Aku orang Ciamis, bisa bicara Sunda dong? Tentu, tapi Jawanya bagaimana? Bisa juga. Letaknya di peta? Ciamis timur, tepatnya kota Banjar. Dikotanya? Bukan! Kalau di peta aku bisa menunjukkannya tepat di garis perbatasan propinsi yang berhinpit dengan sungai Citanduy. Kok bisa? Ya, karena seratus meter dari rumahku adalah sungai yang membatasi antara propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jadi aku bangga, akulah orang yang bisa menunjukkan tepat peta rumahku dalam atlas Indonesia.

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/06/13/banjar-biarkan-aku-melupanya-658463.html

Yang paling kusuka adalah bajigur, lalu bakso, dan ketan tabok yang dimakan dengan mendoan. Karena orang-orang didaerahku punya perkawinan budaya yang kentara antara Jawa dan Sunda. Yang menarik lagi adalah tidak asing jika dua orang bercakap dan mereka berbeda bahasa, satu Jawa satu lagi Bahasa Sunda.

Makanan pun kental dengan percampuran budaya itu, jadi makanan yang berasal dari daerah sebelah Barat, seperti Ciamis dan Tasik juga Pangandaran itu ada dan makanan yang berasal dari budaya Jawa Tengah seperti Cilacap, Majenang dan Karang Pucung juga ada.

Kepercayaan tentang ruh pelindung dan kerajaan siluman dengan Ratu Lakboknya, menjadi legenda tersendiri yang diakui dan ditakuti. Kepercayaan bahwa orang-orang daerahku jika keluar dari lingkaran kabupaten Ciamis selalu dilindungi Karuhun.

Aku membelokan setir ke kanan, jika terus lurus aku akan menunju ke arah Jawa Tengah. Kanan kiri jalan di pertigaan ini sangat jauh berbeda, tentu saja sudah lebih dari sepuluh tahun aku meninggalkan kota ini. Aku biasanya lebih suka memakai jasa kereta api, karena sekarang aku memiliki kendaraan sendiri, apa salahnya aku memakainya untuk kembali ke kota ini.

Deretan pedagang yang rapi dan ramai menghiasi pertigaan ini, aku bahkan hampir tak mengenalinya lagi. Andai saja papan penunjuk jalan itu tidak ada, mungkin aku perlu berhenti, lalu turun untuk menyakan sekadar meyakinkan diri. Ah, aku bahkan hampir tak mengenali kotaku lagi, memalukan.

Alasan lain lagi adalah agar aku tidak usah menunggu kendaraan umum saat bereuni ke kota ini, karena letak rumahku yang jauh di perkampungan. Sekitar delapan belas kilometer lagi dari pertigaan ini. Sedangkan tempat reuni di kota ini, kota tempat aku menyelesaiakan sekolah SMA-ku dulu.

Keluar dari arah kota, aku masih menemukan sisa-sisa masa lalu, sawah, gunung dan pohon kelapa yang menjadi kekhasan daerahku, penghasil nira untuk gura merah berkualitas nomor satu karena gula merah dari daerahku adalah gua terbaik di pasaran. Kalau kau tidak percaya coba tanyakan Gula Lakbok, pasti agen gula tahu kelasnya.

“Assalamuaalaikum!”

Salam kuucapkan ketika mobil sudah kuparkir di samping jalan depan rumahku.

Perempuan tua itu masih menyambutku seperti aku yang dahulu, anak perempuannya yang manja dan kemayu.

“Waalaikum salam warahmatullahi wabaraktuh.”

Pelukan itu mengerat, air mataku tumpah, dan air mata ibuku pun. Kami di daerah perbatasan ini memanggil ibu dengan sebutan mamak dengan huruf k dibaca jelas, begitu pun pada kata bapak untuk ayahku. Sedangkan mereka yang orang Sunda, biasanya memanggil ibu dengan sebutan emih dan abah atau apa untuk ayah mereka.

Sepuluh jam adalah waktu yang lumayan untuk sebuah lelah, satu persatu saudara dan tetangga yang tiba-tiba muncul dan pembicaraan yang mengular dengan tumpahan rindu yang sarat membuatnya hilang begitu saja.

Kedatangan mereka silih berganti membuat aku hanya bisa istirahat untuk salat dan makan saja, bahkan sampai larut malam. Selalu saja rindu itu membuat semua menjadi indah, dan terbayar dengan pertemuan.

“Kau sudah tiga hari di sini, ada rencana untuk pergi menengok atau bersilaturahim dengan teman sekolahmu?”

Aku tersenyum dan menganggukan kepala. “Ini mau berangkat, sekalian pamit.”

“Jadi sudah gak kangen lagi sama Mamak?”

“Ah, jangan bilang begitu, aku bisa pulang kapan pun sekarang aku sudah ada kendaraan, tinggal nunggu ditelepon saja.”

"Syukur, dadine ora kelaken meng Mamak Bapak karo adi-adimu." ---(Syukurlah jadi tidak melupakan ibubapak juga adik-adikmu.

"Enggeh lah, masa kulo kesupen." ----(Iyalah, masak saya lupa.)

Ibuku hanya tersenyum dan seperti biasa pasti memenuhi tas atau kardus sebagai buah tangan setiap kepulanganku, tapi kali ini memang terlalu, karena aku membawa kendaraan sendiri, maka kesannya seperti merampok hasil berkebun saja, ada beras , kelapa, gula merah, bahkan … sampai daun singkong dan daunpepaya. Sungguh mamakku tak bisa dilerai, dia berkeras hati, “Di Jakarta apa-apa kan beli, ini gratis!

Mobil yang diparkir panjang sekali, hampir sepanjang jalan menutupi tempat reuni. Mungkin setiap orang membawa satu mobil, sedang teman sekelasku dulu empat puluh tujuh. Perasaan minderku datang lagi, padahal selama ini aku sudah pandai menyingkirkannya. Semoga saja perasaan masa SMA-ku dulu tidak hadir semua termasuk …cinta, ini berbahaya. Bagaimana kekasihku nantinya? Aku semaki tidak percaya diri karena perasaanku tadi. Aku memasuki sebuah rumah yang mirip gedung, rumah itu yang tertera di undangan lewat jejaring sosial. Jadi kurasa aku tidak salah alamat.

“Hei Tari, kamu kah?”

Aduh, aku rupanya harus membuka memori lamaku, aku blank sama sekali, wajah yang kuhadapi berbeda kini.

“Sofie …?” Semoga tidak salah.

“Wah, ternyata masih ingat!”

Satu persatu teman yang gadir diperkenalkan seperti orang baru yang tidak mengenal sama sekali.

“Kalau yang ini masih kenal?”

“Iya …tapi siapa ya?”

“Masih ingat Situ Mustika? Masih ingat … bala-bala yang kau makan dengan cabe terlalu banyak dan diomeli penjualnya.”

“Ramdhan?”

“Iya ini aku, dan ini …istriku. Kau sudah menikah?”

Aku bahkan baru mempunayi kekasih, karena untuk melupamu aku butuh waktu selama ini.

“Masih keneh tiasa Sunda?”---(Masih bisa berbahasa Sunda?)

"Tiasa saalit-alit mah." ---(Bisa sedikit-sedikit sih)

Waktu tidak saja membuat aku lupa pertigaan yang mengarah ke kotaku, tapi Ramdhan, kenangan, dan semua tentang Banjar. Aku melipatnya dalam kenangn, kecuali rumah ibuku, terlalu sakitkah? Ramdhan pernah memberiku harapan, meski itu cinta masa SMA, dia kerap datang dan membuat cerita, memancing ikan di kolam ayahku, memberi harapan kepada orang tuaku. Semua keluargaku mengenalnya, karena Ramdhan yang anak kota, baik dan tampan. Sayang aku perempuan Jawa yang dilarang menikahi orang Sunda. Alasana mereka karena Sunda itu lebih muda dari Jawa, jadi jika aku lelaki itu akan baik peruntungan jodoh dan kehidupan ekoniminya. Tetapi kareana aku perempuan, maka itu akan memberi akibat yang kurang baik.

Aku tidak percaya dan mempercayainya, tetapi adat di daerahku serta kenyataan yang kerap terjadi membuat mitos seperti itu tak bisa pergi bahkan diyakini.

Ramdhan masih tampan seperti dulu, kuharap dia tidak pernah lupa tentang bajigur yang sering kami beli ketika hujan turun. “Kopi saja, sekali-kali!”

“Bajigur lebih enak di lidah, kita kan orang Banjar,” ujarnya suatu kali. Meski aku telah melupa tentangnya, atau setidaknya tidak mengingat-ingatnya lagi.

Suasana reuni ramai sekali, perbincanagn Dengan Bahasa Sunda, membuatku seperti pulang ke suatu tempat yang damai dan sangat berarti. Aku berusaha untuk tidak canggung, dan terlihat pernah bersedih, bahkan aku mengajak bicara istrinya Ramdhan. Dia cantik, anggun sekali. Sikapanya ramah, kurasa perempuan di depanku lebih tepat untuk Ramdhan dibanding aku.

Aku terlalu lelah, mungkin saja istirahatku di kampung kurang lama, atau mungkin aku harus menikmati semua makanan dan tempat wisata di sekitar kotaku, atau bahkan karena aku belum menginjakan kaki ke lumpur sawah bapakku. Entahlah, mungkin juga karena aku ingin cepat-epat sampai Jakarta lagi,mengubur semuanya dan menikmati kenyataan bahwa aku bukan yang dulu lagi. Sebuah gelas disodorkan ke hadapanku dan pelakunya adalah orang yang pernah mengisi hatiku dulu, “Bajigur kesukaanmu, kau masih ingat?”

Banjar, biarkan aku melupanya, sekali lagi, please!

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community (link https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun