Berbicara masjid, kita akan membayangkan bangunan megah dan kokoh tempat beribadah umat muslim. Pikiran kita tertuju pada masjid-masjid besar seperti: Masjid Istiqlal di Jakarta, Masjid Al Safar di rest area tol Cipularang, Masjid Salman ITB, Masjid Asy Syifa di FK Unpad, Masjid Al Furqon di UPI Bandung, atau Masjid Kubah Mas di Depok, dsb.
Masjid-masjid tersebut adalah masjid yang bangunannya cukup megah dan kokoh, terletak di tengah kota. Fasilitasnya memberikan kenyamanan, keamanan, kebersihan terjaga, pengelolaannya baik, dan banyak donator tetap sehingga untuk berkembang pesat masjid tersebut banyak jalan. Jamaah yang banyak dan letaknya yang strategis ini menjadikan masjid tersebut terkenal.
Di samping masjid-masjid tersebut, banyak masjid yang bangunannya masih sederhana dan ukurannya sangat kecil, terletak di kampung yang jauh dari kota. Masjid tersebut yang penting masih bisa berfungsi untuk melaksanakan salat dan kegiatan lain yang berhubungan dengan ibadah. Berbeda dengan masjid besar, masjid kecil seperti ini tidak banyak dikenal orang.
Masjid yang diulas penulis ini adalah masjid yang ukurannya kecil dan sangat sederhana, bangunannya tidak terlihat megah dan kokoh, dinding tembok, lantainya tidak berkeramik apalagi granit masih floor. Â Masjid tersebut mengingatkan saya pada masa kecil ketika sering bermain ke keluarga di Babakan dan tentunya salat di masjid itu. Tidak tahu masih banyak atau hanya beberapa masjid yang kondisinya seperti ini.Â
Namanya Masjid Al Ikhlas di Kampung Babakan, Desa Campaka Mulya, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Dahulu kami menyebutnya dengan tajug, waktu kondisinya masih berdinding bilik (anyaman yang terbuat dari bambu). Namanya sesuai karakter penduduk kampung Babakan yang selalu iklas menerima keadaan apa pun. Dan sederhana seperti kehidupan mereka yang sangat sederhana.
Kampung Babakan adalah tempat tinggal keluargaku dari pihak bapak sedangkan bapak sendiri tinggalnya tidak di Babakan tetapi di Bandung. Kami berkunjung ke Babakan setiap Idulfitri, atau ada perayaan, atau menengok yang sakit. Kami jarang berkunjung karena tempat tinggal kami yang sudah berjauhan. Dahulu waktu kami kecil sering ke Babakan termasuk mengikuti kegiatan peribadatan di masjid itu. Kalau tidak salah saya bersama adik-adik pernah salat tarawih di Masjid Al Ikhlas itu.
Kehidupan warga Kampung Babakan sangat sederhana karena pekerjaan mereka sebagai petani yang menggarap sawah sendiri atau sawah orang lain. Bercocok tanam sudah tidak diikuti oleh generasinya, sekarang banyak yang bekerja ke kota sebagai pedagang ataupun karyawan di sebuah kantor.Â
Yang saya salut dari warga Kampung Babakan adalah sikap gotong royong dan solidaritasnya sangat tinggi walaupun dengan keterbatasan segala hal. Mereka tidak memandang saudara atau bukan, bila perlu dibantu ya mereka bantu. Dan keinginan mereka untuk memberi itu sangat bagus. Tidak ada kata meminta walaupun kepada saudara. Mereka mendahulukan memberi daripada meminta.
Letak masjid di Kampung Babakan itu di lebak (bawah) karena tanah di kampung tersebut adalah bertingkat (terasering). Dari jalan besar itu kita harus turun tiga tingkat.Â
Di sebelah kiri masjid ada pancuran yang mengalir air melalui bambu. Itu kondisi waktu saya terakhir ke sana. Di belakangnya ada kolam dan sawah. Terasa nyaman dan sejuk. Hidup terasa damai. Setelah masjid masih ada tempat ke bawah (karena terasering) beberapa tingkat lagi dan berakhir di sebuah sungai kecil.
Dari Kampung Babakan ke Jalan Gunung Puntang menuju tonggoh (atas) ada tempat wisata yang sudah banyak dikunjungi wisatawan domestik namanya Taman Bougenville. Saya waktu kecil sering berkunjung ke Babakan dan sering mengunjungi Taman Bougenville sebelum jadi tempat wisata. Dahulu masih sawah termasuk sawah kakek saya di sana. Sekarang situasinya sudah jauh berbeda. Â