Mengingat Kembali Laskar PelangiÂ
Mindset sekolah favorit dan sekolah tidak favorit masih saja melekat di benak masyarakat saat mereka berbicara mengenai hal perihal pendidikan. Meski pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan sudah berupaya untuk menghilangkan image tersebut, tetapi realitanya belum seideal cita-cita yang diimpikan.
Berkaca pada tahun 2018 yang lalu, banyak beredar berita tentang Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) palsu. Orang-orang yang secara materi bisa dikategorikan mampu, ikut-ikutan mengaku tidak mampu dengan dalih demi anaknya bisa diterima di sekolah favorit.Â
Tercatat sebanyak 78.065 siswa atau 52,43% dari siswa yang menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dalam PPDB SMA/SMK tidak lolos verifikasi di Provinsi Jawa Tengah.Â
Menganggapi hal demikian, menteri pendidikan dan kebudayaan Muhadjir Effendy berpendapat bahwa banyaknya orang tua yang menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) palsu untuk mendaftarkan sekolah anaknya merupakan akibat dari pola pikir masyarakat yang ingin mendapat sekolah favorit. Padahal mindset berburu sekolah favorit itu haruslah dihilangkan.
Benar bahwa bagi para orang tua, mendidik anak adalah sebuah tanggungjawab, begitu pun mencarikan tempat belajar untuknya. Tetapi yang perlu diingat adalah jangan sampai para orang tua justru melakukan cara-cara yang salah untuk mendidik anaknya.
Anggapan bahwa tempat sekolah merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan belajar haruslah segera diluruskan. Misalnya anggapan kalau anaknya tidak bersekolah di sekolah A maka anaknya tidak akan bisa menjadi anak yang berhasil.Â
Pandangan ini seolah-olah meniadakan faktor-faktor lain yang bahkan lebih penting dan lebih menentukan keberhasilan. Salah satunya adalah faktor kesungguhan dalam belajar. Dalam hal kesungguhan belajar ini kita bisa mengambil pelajaran melalui berbagai hal, salah satunya kita bisa berkaca ke Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.
Dalam Laskar Pelangi (2007), Andrea Hirata menceritakan tentang gelora perjuangan murid dan guru untuk mengejar kesuksesan meski dalam keterbatasan. Pada suatu kesempatan, murid-murid mengeluh mengapa sekolah mereka tak seperti sekolah-sekolah lain.Â
Terutama kondisi atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Merespon keluhan murid-muridnya itu, Bu Mus sebagai seorang guru mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memperlihatkan sebuah gambar.Â
Gambar itu adalah sebuah ruangan sempit, dikelilingi tembok tebal yang suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. “Inilah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung, di sini beliau menjalani hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku.Â