Pancasila merupakan dasar pandangan hidup rakyat Indonesia yang di dalamnya memuat lima dasar yang isinya merupakan jati diri bangsa Indonesia. Sila-sila dalam Pancasila menggambarkan tentang pedoman hidup berbangsa dan bernegara bagi manusia Indonesia seluruhnya dan seutuhnya. Masuknya Pancasila sebagai suatu ideologi dan falsafah bangsa Indonesia tak lepas pula dari peran Bung Karno. Menurut Sutrisno (2006), "Pancasila adalah suatu philosofiche grounfslag atau Weltanschauung yang diusulkan Bung Karno di depan sidang BPUPKI 1 Juni 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang kemudian merdeka." Suatu masyarakat atau bangsa menjadikan filsafat sebagai suatu pandangan hidup, yaitu merupakan asas dan pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan kehidupan bangsa tersebut, tanpa terkecuali aspek pendidikan.(Semadi & Kunci, 2019)
Filsafat yang dikembangkan harus berdasarkan filsafat yang dianut oleh suatu bangsa, sedangkan pendidikan merupakan suatu cara atau mekanisme dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai filsafat tersebut. Pendidikan sebagai suatu lembaga yang berfungsi menanamkan dan mewariskan sistem norma tingkah laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat. Untuk menjamin supaya pendidikan dan prosesnya efektif, maka dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan landasan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan (Hidayat & Patras, 2013). Sebagai sebuah falsafah dan sebuah ideologi bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah dasar dari pelaksanaan segala aspek kehidupan bagi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Dalam UU No.12 Tahun 2012 Pasal 1 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses Semadi & Kunci).pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dari Undang-undang di atas dapat dimaknai bahwa pendidikan di Indonesia adalah sebuah proses pembelajaran yang berupaya untuk tujuan pengembangan potensi diri dan karakter bagi peserta didik. Disini Sila-sila Pancasila mencerminkan bagaimana seharusnya pendidikan harus dihayati dan diamalkan menurut sila-sila dalam Pancasila
Pancasila sebagai sistem filsafat bisa dilihat dari pendekatan ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Diktat "Filsafat Pancasila" (Danumihardja, 2011) menyebutkan secara ontologis berdasarkan pada pemikiran tentang negara, bangsa, masyarakat, dan manusia. Secara epistemologis berdasarkan sebagai suatu pengetahuan intern struktur logis dan konsisten implementasinya. Secara aksiologis bedasarkan pada yang terkandung di dalamnya, hierarki dan struktur nilai, di dalamnya konsep etika yang terkandung. Dasar ontologis Pancasila sebagai sistem filsafat bisa diinterpretasikan bahwa adanya negara perlu dukungan warga negara. Kualitas negara sangat bergantung pada kualitas warga negara. Kualitas warga negara sangat erat berkaitan dengan pendidikan. Hubungan ini juga menjadi timbal-balik karena landasan pendidikan haruslah mengacu pada landasan negara. Esensi landasan negara harus benarbenar memperkuat landasan pendidikan untuk mencapai tujuan bersama adanya keserasian hubungan antara negara dengan warga negara(Adha et al., 2019)
Pendidikan adalah usaha dasar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak, ilmu hidup, pengetahuan umum serta keterampilan yang diperlukan dirinya untuk masyarakat berlandaskan Undang-Undang. Berbagai masalah pendidikan di Indonesia ini sangatlah banyak diantaranya dari segi rendahnya layanan pendidikan di Indonesia,rendahnya mutu pendidikan tinggi di Indonesia (Adha et al., 2019)
 rendahnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia. menurut UU No. 2 Tahun 1985, tujuan pendidikan itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya. Pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk membentuk setiap individu agar lebih baik. Dengan adanya pendidikan yang baik, maka individu tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap kehidupan pribadi , keluarga dan masyarakat sekitar agar menjadi lebih baik. Pendidikan penting bagi anak-anak, orang dewasa dan masyarakat. Pendidikan memberi orang pengetahuan tentang dunia di sekitar mereka dan mengubahnya menjadi lebih baik. Ini mengembangkan pandangan orang tentang kehidupan, membantu membentuk opini dan melihat hal-hal dalam hidup. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya diterapkan sedari dini. Sayangnya di negara Indonesia pendidikan belum terlalu baik. Tidak hanya dari segi rendahnya manusia yang berpartisipasi tetapi juga rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Dimulai dari adanya guru yang mendapat fasilitas kurang baik,dan banyak siswa atau mahasiswa yang menganggap bahwa pendidikan yang telah diajarkan di sekolah merasa tidak terpakai dalam dunia industri, serta tidak layaknya bangunan sekolah, sampai sulitnya mengakses gedung sekolah tersebut, dan hal ini juga merupakan alasan mengapa pendidikan di Indonesia dikatakan buruk(Rizkianti et al., 2024).
METODOLOGI
Metode penulisan ini menggunakan metode penelitian Pustaka (Library Research) yang dimana pada metode ini menggunakan model penelitian pemikiran. Penulisan ini terdapat beberapa tahapan kegiatan, yaitu berupa pengumpulan data, pengolahan data, dan terakhir penyajian data, article  dan Review jurnal pada database google schoolar
Hasil dan Pembahasan
- sistem pendidikan di indonesia dan sistem pendidikan dinegara lain
Apakah sistem Pendidikan Indonesia saat ini sudah maksimal? Pada tahun 2018 Indonesia mengikuti tes PISA (Programme for International Student Assessment) yaitu suatu studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Dahulu PISA (Programme for International Student Assessment) dibentuk karena negara-negara mulai menyadari pentingnya evaluasi Pendidikan. Melakukan evaluasi dan tes terhadap siswa memang bukan hal baru saat itu, tetapi OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) mempunyai pandangan berbeda dibandingkan evaluasi dan tes biasanya. Hal tersebut bertujuan mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di dunia. Evaluasi berlangsung tiga tahun sekali, yang dinilai siswa-siswa berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak. Tes ini bersifat diagnostik yang salah satu manfaatnya untuk perbaikan sistem pendidikan di negara. Dalam tes tersebut terdapat tiga aspek yang dinilai di antaranya yaitu membaca, matematika dan sains. dan hasil tes negara indonesia yaitu peringkat 70 an dari 78 negara yang mengikuti tes pada saat itu. Dan ada hal yang perlu ditekankan oleh sistem pendidikan yaitu siswa harus siap menghadapi tantangan di masa depan dengan kemajuan iptek. Siswa juga harus punya penalaran logika yang baik setelah lulus sekolah. Karena ini merupakan hal yang mendasar saat seseorang mempelajari sesuatu. Kalau logikanya tidak baik maka pelajaran apapun tidak bisa diterima dengan baik juga. Dan siswa harus mempunyai kapasitas untuk terus belajar selama hidupnya.(Rizkianti et al., 2024).
Indonesia merdeka tahun 1945 sampai 2013 sekarang ini atau sudah lebih dari 50 tahun, Indonesia sudah melaksanakan sistem pendidikan nasional, namun dampaknya belum signifikan dalam pembangunan Indonesia.  merinci beberapa masalah yang harus diselesaikan oleh pendidikan Sejak antara masalah kelangsungan hidup bangsa, budaya korupsi, ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan, konsumerisme dan budaya materialistik, kerusakan lingkungan hidup, bahaya narkoba, merosotnya mutu hasil pendidikan formal, dan maraknya komersialisasi pendididikan. Nadjamuddin Ramly  menyebutkan beberapa isu kritis pendidikan Indonesia antara lain: mogok kerja guru, Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi yang komersial (Hidayat & Patras, 2013).
Sistem Evaluasi yang tidak akomodatif, masuknya investasi asing dalam bidang pendidikan, kewenangan penyelenggaraan pendidikan bagi daerah yang mengalami penyimpangan, kemampuan guru yang lemah dalam menguasai materi ajar, institusi pendidikan menjadi kontributor pengangguran terdidik, meterialisme dan egoisme sektoral ilmuwan, dan yang terjadinya pendidikan yang hanya menguasai materi ajar bukan pembinaan perilaku dan moral dan tidak adanya pajak untuk pendidikan. Selain masalah seperti yang disebutkan di atas, media masa juga memberitakan terjadinya kekerasan dan konflik sosial, mutu sumberdaya manusia (SDM) yang dinilai rendah dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainya, kemampuan membaca, matematika dan sains siswa SD Indonesia yang dinilai rendah, Indonesia dikenal sebagai pengekspor tenaga kerja murah untuk jenis pekerjaan kasar ke negara-negara lain. Secara umum pendidikan masyarakat Indonesia masih sekitar 5,5 tahun  Indikator-indikator di atas menunjukan bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia belum berfungsi maksimal.Belum maksimalnya fungsi sistem pendidikan nasional menimbulkan pertanyaan apakah ini terjadi karena ketika tahun 1945 Indonesia merdeka, 90 persen penduduk Indonesia buta huruf dan 10 persen sisanya berpendidikan sekolah 3 dan 2 tahun, sehingga waktu lebih dari 50 tahun dirasa belum cukup bagi sistem pendidikan nasional untuk membawa Indonesia sesuai cita-cita kemerdekaan Tapi kenapa banyak fakta negara-negara lain, seperti China dengan 1,3 miliar, Malaysia, Vietnam dan lain-lain berhasil maju? Ketika sistem pendidikan indonesia dituntut terus berjalan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan, maka pertanyaannya adalah apa yang salah dalam pendidikan Indonesia what's wrong with our education? Sisi manakah yang harus dibenahi agar sistem pendidikan nasional berjalan menuju cita-cita yang terkandung dalam mukadimah UUD 1945? Berdasarkan pemaparan masalah di atas, maka artikel inibertujuan untukmengevaluasi kinerja sistem pendidikan nasional Indonesia yang sudah lebih 50 tahun berjalan.Evaluasi10 dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu kegiatan sistematis yang dilaksanakan untuk membantu pemerintah agar dapat mempertimbangkan dan meningkatkan kegiatan pendidikan nasional. Oleh karena itu, melalui artikel ini diharapkan memberi masukan untuk meningkatkan pelaksanaan sistem pendidikan nasional Indonesia pada khususunya dan asia tenggara pada umumnya. Sejak kemerdekaan, Indonesia memiliki pasal 31 UUD yang mewajibkan pemerintahan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional (ayat 3). Negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20 % (ayat 4). Dan, Pemerintah harus memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan kesejahteraan umat manusia (ayat 5). Ketentuan dalam UUD tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk Undang-undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan hasil dari konsensus politik. Jika menggunakan analisis Henry M. Levin (1976) setidaknya ada 5 pengaruh pengaruh politik terhadap pendidikan yaitu: (1) politik berpengaruh pada aktivitas pendidikan dalam penciptaan nilai-nilai dan harapan-harapan warga negara seperti apa yang dibutuhkan oleh negara, (2) politik berpengaruh pada anggaran pendidikan, (3) politik berpengaruh terhadap sumberdaya pendidikan seperti gaji guru, sarana prasarana penunjang kegiatan belajar, dan pelatihan guru, (4) politik berpengaruh pada sistem persekolahan seperti struktur sekolah, sistem penghargaan terhadap guru, dan sistem penerimaan siswa, (5) politik berpengaruh pada mutu lulusan yang dilihat dari bagaimana lulusan pendidikan berperilaku politik, berperilaku budaya, berperilaku ekonomi dan berperilaku sosial.Berdasarkan analisis Levin di atas dapat ditarik simpulan bahwa kegagalan pelaksanaan sistem pendidikan nasional sangat dipengaruhi oleh politik baik dalam penentuan nilai-nilai dan karakter manusia yang dibutuhkan, penentuan besarnya dana untuk pendidikan, penentuan proses belajar mengajar, dan penentuan perilaku warga negara yang diharapkan (Hidayat & Patras, 2013)