Tidak sampai disitu, guru kelas VI yang menjadi pelaksana kegiatan pembelajaran juga merasa dituntut dengan hasil US tersebut. Bahkan tidak jarang, guru yang tidak mampu meloloskan anak mereka adalah guru yang tidak becus. Sungguh ironis, intervensi para wali murid/ orang tua ini ibarat berharap tumbuhan berbuah segar tetapi menyuntik dengan penyubur kimia yang secara perlahan justru akan mematikan.
Menghalalkan kecurangan
Berdasar dari hasil US sebagai syarat masuk SMP, tuntutan orang tua, atau bahkan tuntutan atasan agar hasil US mendapat nilai baik. Akhirnya, segala cara dilakukan oleh guru atau orang tua yang sangat berharap anak mereka dapat diterima. Kecurangan dan ketidakjujuran dalam pelaksanaan US semakin banyak terjadi.
Kebiasaan-kebiasaan ini sudah seperti konsumsi yang telah diberi label halal dengan mengabaikan dampak ke depan. Bisa dibayangkan, apa yang telah kita lakukan ini sebenarnya akan menjadi kenangan yang melekat pada siswa hingga mereka dewasa. Secara tidak langsung mereka diajak untuk melakukan kebohongan.
Disinilah letak dilema sebagai guru kelas VI. Ketika berbuat jujur akan hancur, dengan kata lain guru dianggap tidak becus dalam mengantarkan siswanya ke sekolah yang didambakan. Jika berbuat curang, hal ini pastinya akan terkenang dalam ingatan siswa seumur hidupnya.
Harapan di Masa Datang
Ujian Sekolah yang merupakan proses evaluasi untuk mengetahui kemampuan peserta didik, sering dianggap sebagai momok yang menakutkan. Hal ini terjadi karena banyaknya tuntutan dari berbagai pihak, baik dari orang tua ataupun dari atasan di tempat masing-masing.
Dari berbagai tuntutan yang terjadi pada hasil US, sehingga muncul hal-hal yang negatif, secara tidak sadar akan memberikan dampak jangka panjang pada kenangan siswa. Berlaku tidak jujur akan terkenang sepanjang masa oleh siswa. Apalagi jika perintah tidak jujur tersebut bermula dari instruksi guru.
Kita semua pasti berharap, pelaksanaan US yang merupakan indikator pencapaian belajar siswa dapat berperan kembali sebagaimana mestinya. Hal-hal yang menjadikan proses US menjadi tidak baik dapat segera dikurangi bahkan dihilangkan. Terlebih dengan adanya pendidikan karakter yang sedang gencar diterapkan, kejujuran jangan hanya menjadi formalitas belaka. Kita bisa memulai mewujudkan kejujuran tersebut, salah satunya dalam pelaksanaan US.
Artikel ini telah dimuat di Radar Bojonegoro, 7 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H