Mohon tunggu...
Nur Kholis Huda, M.Pd.
Nur Kholis Huda, M.Pd. Mohon Tunggu... -

Guru SDN Jetis III Lamongan. Alumnus Universitas Negeri Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema Ujian Sekolah

6 November 2017   14:32 Diperbarui: 6 November 2017   14:37 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bulan Mei merupakan bulan sakral bagi guru dan siswa SD se-Indonesia. Rutinitas ujian sebagai syarat kelulusan ini digelar setelah jenjang SMA/ SMK dan SMP/ MTs. Pada tingkat SD, jenis ujian ini dikenal dengan istilah US atau Ujian Sekolah, meskipun dari tahun ke tahun, istilah untuk pelaksanaan ujian ini sering berganti.

Jika kita membahas tentang pelaksanaan US, maka yang terbayang adalah sebuah tuntutan kesuksesan dari hasil Ujian Sekolah tersebut. Sudah menjadi persepsi umum bahwa sekolah dengan nilai rata-rata tinggi merupakan sekolah yang sukses melaksanakan tugas dalam mendidik siswa. Apakah benar demikian?.

Dibalik kesuksesan meraih nilai US, ada beberapa permasalahan yang menjadi dilema guru SD khususnya guru kelas VI. Permasalahan ini seakan seperti "dejavu" yang selalu terulang dari tahun ke tahun.

Nilai US sebagai syarat masuk SMP

Setiap siswa pastinya ingin melanjutkan jenjang sekolah yang lebih tinggi di sekolah terbaik. Jika semua siswa dan orang tua mempunyai keinginan yang sama, maka peluang untuk masuk ke sekolah favorit menjadi semakin kecil. Mereka harus bersaing, tidak hanya dengan teman sekelas, melainkan dengan siswa SD se-kabupaten/ kota, bahkan tidak jarang harus bersaing dengan siswa yang berasal dari kabupaten/ kota lain.

Sekitar 3 tahun yang lalu, hasil US yang dulu masih bernama USBN, dijadikan patokan mutlak 100% sebagai syarat masuk ke jenjang lebih tinggi yakni SMP. Nilai yang diperoleh dari 3 mata pelajaran antara lain; Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA seakan mewakili serangkaian kegiatan belajar yang dimulai dari kelas I hingga kelas VI. Dengan demikian, perolehan nilai US 3 mata pelajaran inilah yang akan dijadikan ukuran masuk tidaknya siswa tersebut pada SMP yang diinginkan.

Persyaratan yang awalnya menggunakan 100% dari nilai US sebagai syarat masuk ke SMP, lambat laun diubah dengan prosentase 50%-50% dengan ujian seleksi di SMP masing-masing. Meskipun kebijakan menggunakan nilai murni dari hasil US sudah diganti dengan prosentase 50%-50%, nilai US masih menjadi faktor penentu bagi keberhasilan dalam indikator masuk ke jenjang SMP. Maka itu, ketelitian dan rasa jujur pastinya yang kita harapkan tertanam pada guru-guru SMP yang sekaligus menjadi panitia PPDB.

Tuntutan Orang Tua

Selain siswa itu sendiri, sudah sewajarnya jika orang tua juga menginginkan yang terbaik untuk anaknya (dalam hal ini sekolah yang diinginkan). Namun, jika kemampuan anak tidak sebanding dengan keinginan orang tua, apa yang terjadi?

Seorang anak seringkali "ditindas" oleh keinginan orang tua mereka. Para orang tua tidak mau tahu, bagaimana kemampuan anak sebenarnya. Jika anak yang diharapkan tersebut mumpuni dalam bidang akademik, hal ini tentunya tidak akan menjadi masalah. Namun bagaimana dengan anak dengan kemampuan sedang atau bahkan di bawah rata-rata?.

Mereka yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, akan merasa seperti "kuda pacu" yang dipaksa berlari kencang tanpa menghiraukan dampak selanjutnya. Sungguh sangat disayangkan hal ini masih banyak terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun