Mohon tunggu...
Nurkholis Ghufron
Nurkholis Ghufron Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alumni MI Darussalam Padar, Mts Darussalam Ngoro, Darussalam Gontor 94, berwirausaha, Suka IT...To declare does'nt mean to be Proud of. It rather than to be thankful to teachers and carefully behaviour...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pesantren Sarang Teroris, SMA Sarang Pembunuh, Jalan Raya Tempat Genosida Tahunan dan Densus Tukang Salah Tangkap

26 September 2012   10:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:39 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya termasuk Kompasianers yang bukan lulusan sekolah formal karna saya mondok di pesantren.  Selama nyantri di Gontor, mulai jam 4 pagi hingga jam 11 malam menjalani ritual pendidikan yang ketat dan penuh disiplin.  Sampai malampun ,petugas malam akan mengawasi adakah pelanggaran " kaki" atau "tangan' yang menindih santri lain. Jikalau ada , maka petugas tadi langsung melakukan tindakan mulai dari ringan sampai dipulangkan tergantung motivasi maupun unsur kesengajaan.

Ketika acara-acara resmi diadakan di gedung pertemuan maka  Hymne Oh Pondokku dan Indonesia raya wajib dilantunkan oleh seluruh santri dan para guru.Sudah tak terhitung berapa kali lagu ini dilantunkan ketika saya menuntut ilmu. Nasionalisme menyatu dengan jiwa kepondokan,bukan hanya Islam yang diperjuangkan namun juga Indonesia dan NKRI.

Setiap acara juga diseleksi dengan ketat dan harus izin dengan surat resmi,setiap perkumpulan yang tidak berizin akan mendapatkan konsekwensi serius bahkan bisa juga dipulangkan karna melanggar peraturan jika ditemukan unsur-unsur "makar" ataupun perlawanan illegal.

Seingat saya,  dalam masa lima tahun tersebut , semua waktu digunakan untuk ilmu-ilmu kontruktif peradaban.Tidak ada jalan pintas yang diajarkan untuk menggapai kejayaan Umat sebagaimana Andalusia yang pernah menjadi adidaya pada abad ke 7 an atau Kejayaan Turki Ustmani pada abad belasan. Semua harus dimulai  dari jerih payah dan persatuan ummat. Jika saja ummat masih terpecah belah seperti sekarang ini maka mustahil kejayaan itu akan kembali ke tangan Muslimin. Gontor dengan sangat ketat mempertahankan konservativme mata -mata pelajaran di samping ilmu-ilmu ke kinian. Bahkan ketika alumninya yang bernama Cak Nur menggebrak Indonesia dengan faham liberalnya, Pak Zarkasyi dengan tegas mengatakan bahwa Nurcholis majid memang dari Gontor namun Gontor bukan Nurcholis majid. Kalaupun beliau masih hidup dan mendengar nama Abu Bakar Baasyir maka saya yakin jawabannya kurang lebih sama, Baashir memang dari Gontor namun Gontor bukan Baashir. Sisi-sisi terorisme yang santer dialamatkan kepada pondok adalah suatu kesalahan fatal dan tak termaafkan. Kasus demi kasus yang dialamatkan kepada pesantren hendaknya tidak menjadikan buta untuk melakukan penilaian gegabah bahwa pesantren adalah sarang teroris. Evaluasi yang saling memahami satu sama lain melibatkan ke dua belah fihak adalah lebih arif dan lebih produktif di masa mendatang.

Dalam penyebutan nama almamater atau bahkan mengait-ngaitkan,  media massa dan aparat mempunyai andil untuk tidak menyampaikan almamater sekolahan secara vulgar didepan media karna itu termasuk hak-hak seseorang di depan hukum sebelum pengadilan memutuskan bersalah.

Di lain tempat ,  anak-anak yang  telah dididik di lembaga sekolah Menengah Atas dan yang sederajat melakukan tawuran yang menyebabkan seorang siswa kehilangan nyawa.Kompas dalam review tentang tawuran maut antar siswa menyodorkan kepada kita fakta yang cukup mengerikan, akang jaya dengan apik mengulas review nya sebagai berikut

Kompas hari ini (Selasa, 25/9/2012) membeberkan data tentang beberapa tawuran antarpelajar di Jabodetabek 2012. Tercatat sejumlah korban, telah terjadi gara-gara tawuran. Pada 30 Januari, Fajar (17) terluka kena clurit; 6 April, Bripka Pirngadi luka bacok pada lengan kanannya dalam tawuran di Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat; 19 April, dua pelajar SMA Negeri 3, Guntur (17) dan Harza Saparta (17) luka bacok; 3 Mei, Bayu Kurniawan (16) tewas dibacok, dua korban lainnya kritis; 30 Agustus, seorang pelajar bernama Ahmad Yani tewas; dan 12 September, Dedi Triyuda (17) tewas terkena lemparan batu dan luka tusuk di selangkangan. Jumlah korban ini tentu akan semakin panjang jika ditambah dengan daerah-daerah lain di Indonesia. (sumber :http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/25/pesantren-sarang-teroris-sma-sarang-pembunuh/)

Ini adalah fakta yang diblow-up oleh media massa karna ada unsur popularitas, nah bagaimana jika tawuran yang terjadi di desa-desa namun  tidak sempat diblow up media massa. Apakah dengan fakta-fakta ini kita juga berani dengan gentleman mengatakan baha SMA adalah sarang pembunuh? Kalau tidak sanggup mengatakan itu maka janganlah menggenarilisir terorisme bersarang di pesantren. Pesantren di indonesia berjumlah ribuan,  jikalau satu atau dua atau tiga atau empat atau sepuluh  murid pesantren terlibat terorisme maka tidaklah adil dengan mengaitkan segelintir santri terhadap lembaga raksasa yang berjasa dalam mengawal akhlaq bangsa ini yang berjumlah ribuan.

Perlu diketahui, untuk ajaran tahun hijriah 1433 Hijriah saja, Gontor saja mendidik 22.000 ribu santri di seantero nusantara belum termasuk pondok alumni yang berjumlah ratusan tersebar di seluruh nusantara dalam kapasitas pondok berbeda-beda  bahkan tidak mustahil bisa lebih banyak santrinya dari Gontor sebagai nenek moyangnya.  Kalau ada satu saja alumninya melakukan kesalahan hukum maka tidak adil jika seluruh pondok terkena getahnya.  Itu baru Gontor dan yang berafiliasi  dengannya, bagaiman dengan Pondok Tebuireng yang mempunyai ribuan santri dan ratusan ribu alumni. Apakah sekiranya nanti ada alumninya yang melakukan terorisme juga akan diklaim hal yang sama? karna tidak mustahil dengan teknologi IT yang berkembang pesat seperti sekarang ini,  proses rekruitmen para pelaku teror ini juga memasuki para santri yang masih aktif. Tidak mungkin...itu suatu kezaliman.

Ketika Hari raya tiba , tradisi mudik seperti tahun-tahun yang lalu berlangsung . Tahun ini mudik telah menelan 800 korban jiwa. Apakah anda akan bilang takdir ? ,,kalau sudah divonis takdir maka segala usaha sudah tak perlu dikeluarkan karna semua sudah pada titik nol: Takdir. Namun jika anda membandingkan angka ini dengan korban korban terorisme maka ini tergolong genocida karana terjadi dalam waktu hampir singkat : 14 hari. Apa faktornya? jalanan yang pada rusak dan berlubang ada di mana-mana. Kenapa tidak ada densus khusus untuk melakukan pre emptive strike kepada jalan raya atas maraknya terorisme jalanan ini? Karna di belakang proyek-proyek tersebut ada orang-orang besar atau mafia-mafia yang mengeruk keuntungan dengan mengurangi kualitas jalanan demi kuantiatas keuntungan pribadi atau golongan.

Terakhir, densus 88. Dari sekian prestasi yang ditorehkan Densus 88 , ada beberapa kasus salah sasaran bahkan sampai penendangan orang yang sedang sholat. Entah kenapa organisasi sebesar NU yang beberapa hari yang lalu menelorkan fatwa fenomenal : Mati untuk koruptor ,tidak mengkritisi perlakuan ini. Karna apapun alasan jika belum terbukti secara hukum maka ini termasuk  pelanggaran HAM.katanya mau menegakkan HAM. Masalah pelaku teror harus dihukum itu adalah konsekwensi yang harus diterima pelakunya , namun jika orang yang sama sekali tidak bersalah diperlakukan sebagai teroris maka hal itu adalah masalah lain dan apakah dengan pelbagai kejadian salah tangkap kita juga akan menggeneralisir Densus 88 sarang aparat salah tangkap?  tunggu dulu...bukan ummat terbaik jika tidak menyikapi segala sesuatu secara objektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun