Mohon tunggu...
Nurkholis Ghufron
Nurkholis Ghufron Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alumni MI Darussalam Padar, Mts Darussalam Ngoro, Darussalam Gontor 94, berwirausaha, Suka IT...To declare does'nt mean to be Proud of. It rather than to be thankful to teachers and carefully behaviour...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jika Fathimah Mencuri, Aku Akan Potong Tangannya

18 September 2015   10:12 Diperbarui: 18 September 2015   10:17 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="timbangan, dokumen darawati.Wordpress"][/caption]

"Wahai manusia sesungguhnya yang membinasakan orang orang sebelum kamu adalah apabila seorang bangsawan mencuri, maka mereka membiarkan akan tetapi apabila seorang yang lemah mencuri maka mereka jalankan hukuman kepadanya. Demi Dzat yang Muhammad berada dalam genggaman Nya kalau seadainya Fathimah binti Muhammad mencuri niscaya aku akan memotong tangannya." begitulah jawaban Rasulullah kepada kaum Quraysh yang dilewatkan kepada Usamah ,orang yang dicintai Nabi, dengan maksud akan memperoleh pengampunan atas kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang bangsawan dari Bani Makzum.

Untuk mengkonter kekhawatiran mereka akan jatuhnya moral karna penegakan hukum di kalangan bangsawan ini, Rasulullah menawarkan bargaining yang statusnya di atas bangsawan yakni Fathimah binti Muhammad. Fathimah adalah anak perempuan yang sangat dicintainya sehingga beliau kerap memanggil "biji mataku" dan seluruh masyarakat tahu akan hal ini. Jika Fathimah melakukan tindakan pencurian maka beliau sendiri yang akan melakukan eksekusi pemotongan tangan terhadapnya. 

Dengan Jaminan ini, perintah penegakan hukuman terhadap bangsawan tersebut dipatuhi dengan memotong tangannya. Menurut hadits Bukhari Muslim yang terkenal sangat valid dalam membukukan hadits , setelah tangannya di potong, wanita itu menikah dan bertaubat. Kekhawatiran mereka terhadap penegakan hukum yang mengedepankan "Al Musaawat tijaahal khukmi" atau "equality before the law" ternyata mempunyai effek yang membangun dan bukan merusak seperti yang mereka takutkan selama ini.

Dalam kehidupan ber NU Nahdhatul Ulama , pada kontek menyikapi pelaksanaan undang undang terorisme oleh negara yang terkesan tebang pilih termanifestasikan pada mencoloknya perlakukan densus 88 dengan objek Muslim dan Non Muslim , dapat kita perhatikan hal hal berikut ini:
Berdasar sikap sikap Aswaja dalam hubungan dengan Negara, setidaknya Negara telah berlaku tidak tawassut dan itidal atau bertindak dalam posisi netral dan condong ke pada salah satu fihak dalam berbagai kasus Densus 88 tak dideploitasi kepada pelaku teror dari Non Muslim. Setiap warga negara tanpa diskriminasi Ras harus berposisi sama dalam hak dan kwajiban di depan negara kecuali setelah pengadilan benar benar memutuskan ia telah bersalah dalam bahasa hukum presumption of innocence adalah hak bagi warga negara dan kewajiban negara untuk melindungi hak warga negara ini.

Jikalaupun lahirnya standar ganda penegakan hukum ini atas dasar kebencian kepada suatu kaum semisal yang didakwakan kepada Wahaby takfiry maka ambillah angka di kisaran 100 ribu dari 210 juta muslim Indonesia adalah Aswaja maka menjadi tidak relefan karana kebencian secara khusus kaum itu ditimpakan kepada umumy mayoritas Aswaja di Nusantara ini dan sekaligus mengorbankan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini harus dihapuskan karna bertolak belakang dengan penegakan hukum itu sendiri maka bagaimana menegakkan hukum tapi dengan menghancurkan asas keadilannya??. Kebencian kepada mereka bukan menjadi penghalalan kecurangan dalam penegakan hukum.

Pelaksanan hukum dengan standar ganda ini melawan Pancasila itu sendiri yakni sila kemanusiaan yang adil dan beradab dengan nilai nilai sebagai berikut : pada butir pertama berbunyi
Mengakui persamaan derajat persamaan hak persamaan kewajiban antara sesama manusia.

Ahmadinejad walaupun non Sunni tetapi termasuk pemimpin yang sangat istiqomah ulet dan berani mati dalam memperjuangkan penghapusan standar ganda di PBB dalam pidato pidato resmi sekalipun beliau tak pernah bergeming dari pendirian tawassut dan itidal .Pandangan saya ini lepas dari atribut Syiah yang melekat padanya sebagaimana Sunni yang melekat pada diri saya.
Jadi, menurut saya , standar ganda ini mencederai Pancasila sekaligus nilai nilai Aswaja yang melekat pada jiwa NU sebagi pembela Pancasila dan pembela slogan NKRI sebagai harga mati.

Jadi hikmah dari penegakan hukum tanpa tebang pilih adalah membersihkan jiwa jiwa yang ternoda oleh ketidak adilan  penegakan hukum yang berlindung di balik penasbihan dirinya sebagai pembela Pancasila tapi dikotori oleh ketidak "tawazunan" dalam menimbang.
Wallohu alam bisshowab.
Nurkholis Ghufron.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun