Dalam kehidupan ini manusia pastinya membutuhkan bahasa untuk mengekspresikan ide dan emosi mereka, berkomunikasi satu sama lain, dan bertukar informasi. Berbagai jenis ekspresi ini memerlukan penggunaan berbagai jenis tanda. Karena kehidupan manusia dipenuhi dengan tanda-tanda alami dan buatan, yang kesemuanya memiliki makna khusus sesuai dengan jenis interpretasi yang berbeda. Oleh karena itu, para ilmuwan harus berpikir serius tentang tanda-tanda itu dan mempelajari ciri-cirinya. Sebagai bapak semiotika, Ferdinand de Saussure dari Prancis dan Charles Sanders Peirce dari Amerika mengerjakan topik yang sama meskipun masing-masing dari mereka berada di negara yang berbeda, mereka didirikan untuk mempelajari tanda-tanda secara ilmiah.
Roland Barthes dalam hal ini mengembangkan pemahaman tentang teori semiotiknya. Roland Barthes, seorang penulis esai dan kritikus sastra sosial Prancis, yang lahir pada November 1915 di Prancis, dan meninggal pada Maret 1980. Ia belajar sastra klasik, tata bahasa, dan filologi di University of Paris. Ia adalah orang pertama yang menjabat sebagai ketua “Semiologi Sastra” di College of France pada tahun 1976. Tulisan-tulisannya adalah onsemiotika (Editor Britannica, 2021, Maret).
Kehadiran Barthes sebagai penulis berlanjut hingga hari ini dengan kekuatan dan kecerahan yang sama yang dibawa oleh wawasannya ke banyak aspek budaya, bahasa, seni, dan masyarakat. Pernyataan Barthes yang terkenal dalam Penulisan Derajat Nol bahwa – “Sastra adalah seperti fosfor: ia bersinar dengan kecemerlangan maksimumnya pada saat ia mencoba untuk mati” – ini telah menjadi metafora sebagai kekuatan intelektual: kecemerlangannya terus bersinar lama setelah kepunahan fananya.
Ilmu Semiotika
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, yakni “semeion” yang artinya tanda (sign). Semiotika merupakan ilmu yang mepelajari tentang tanda dan bagaimana tanda itu bekerja (Fiske, 2007). Sedangkan Preminger (dalam Sobur, 2009) berpendapat bahwa ilmu yang mempelajari tentang tanda disebut dengan semiotika. Fenomena sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat dapat dianggap sebagai suatu tanda. Semiotika mempelajari tentang sistem, aturan, dan kesepakatan yang memungkinkan suatu tanda dapat memiliki arti.
Sebagai suatu disiplin ilmu, semiotika secara resmi memiliki suatu perkumpulan ilmiah, yaitu International Association for Semiotic Studies (IAAS) yang didirikan sejak tahun 1969. Pada tahun 1988 didirikan Lembaga penelitian internasional tentang semiotika yaitu International Semiotics Institute yang berkedudukan di Kaunas University of Technology Lithuania.
Lembaga penelitian bertujuan untuk mempelajari dan mengembangkan semiotika dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Semiotika memiliki pengaruh yang sangat penting sejak empat dekade yang lalu (Piliang, 2003). Baik sebagai metode kajian (decoding) maupun juga sebagai metode penciptaan (encoding). Semiotika berkembang bersama dengan bidang keilmuan yang lain, menciptakan cabang-cabang semiotika seperti semiotika kedokteran (medical semiotics), semiotika binatang (zoo semiotics), semiotika sastra, semiotika arsitektur, semiotika film, semiotika fashion, dan sebagainya. Charles Sanders Peirce, yang dikenal sebagai salah seorang pencetus semiotika, menyatakan bahwa semiotika akan memiliki pengaruh dan berguna bagi pengembangan disiplin ilmu yang lain.
Pada awalnya semiotika lebih banyak dikenal dalam dunia sastra, kemudian berkembang dan bersentuhan dengan bidang keilmuan yang lain. Semiotika tidak hanya digunakan untuk mengkaji keilmuan dibidang sastra dan linguistik (Budiman, 1999). Namun juga dapat digunakan untuk mengkaji fenomena-fenomena lain di luar ilmu sastra dan linguistik. Beberapa negara seperti Prancis, Amerika, dan Jepang, telah menggunakan semiotika untuk mengkaji bidang keilmuan lain seperti arkeologi, antropologi, geografi, arsitektur, politik, komunikasi, pendidikan seni desain, dan juga merambah pada kajian-kajian bisnis dan ekonomi, akuntansi, manajemen,
hukum, periklanan, pariwisata, dan kesehatan.
Semiotika juga dapat berarti suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetepi juga mengkonstitusi sistem tersetruktur dari tanda (Barthes, 1988:179 dalam Kurniawan, 2001;53).
Menurut Barthes, semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal- hal (things). Memaknai, dalam hal ini tidak dapat disamakan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonsitusi struktur dari tanda. Barthes, dengan demikian melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi tidak terbatas pada bahasa, tetapi juga pada hal-hal lain di luar bahasa. Barthes menganggap kehidupan sosial, apapun bentuknya merupakan suatu sistem tanda tersendiri (Kurniawan, 2001: 53).
Teori semiotika Barthes hampir secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure. Saussure melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitrakan oleh seseorang, bisa berupa gambar ataupun teks) dan makna (arti yang dipahami oleh seseorang terhadap tanda tersebut). Saussure mengunakan istilah penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda merupakan aspek material suatu tanda sedangkan petanda merupakan konsep mental atau arti suatu tanda. Sebagai contoh kata “bunga” merupakan penanda dari konseptual (petanda) tumbuhan yang memiliki
kelopak, tangkai, daun, berbau harum, dan elok warnanya (lihat gambar 1.2)